Jumat, 13 November 2009

Merayakan Natal Sebagai Calon Imam

Aku masih ingat dengan baik bagaimana ketika aku masih kecil merayakan Natal bersama keluarga di rumah. Beberapa minggu sebelum Natal aku merasakan bagaimana keluarga kami begitu sibuk. Bapak sibuk menyiapkan Gereja, Ibu harus ikut latihan koor, sedangkan aku dan adik harus ikut latihan-latihan bersama anak-anak Sekolah Minggu di Gereja. Kemudian, ketika malam Natal kami bersama-sama sekeluarga berangkat ke Gereja dan merayakan Hari Raya Kelahiran Tuhan itu bersama umat yang lain. Setelah perayaan Ekaristi, biasanya kami sekeluarga berkumpul dan saling mengucapkan selamat. Ahh…Natal yang begitu indah…
Kini, aku telah tujuh tahun hidup sebagai calon imam di seminari. Hidup di seminari berarti sangat jarang bertemu dengan keluarga. Hal ini berlaku pula ketika merayakan Natal. Tidak setiap Natal aku mendapat kesempatan untuk merayakannya bersama dengan keluarga di rumah. Salah satunya terjadi empat tahun yang lalu.
Waktu itu aku masih duduk di Kelas IV Seminari Menengah Garum dan menjalani pastoral di Stasi Parang, Paroki St. Petrus-Paulus Wlingi, Blitar. Stasi itu berada sekitar 20 Kilometer di sebelah utara Wlingi. Stasi itu terletak di atas sebuah bukit kecil yang ditumbuhi pohon pinus. Udaranya sejuk dan jauh dari hangar binger kendaraan bermotor dan kendaraan bermotor.
Aku sadar bahwa sebagai calon imam yang bertugas pastoral aku harus menemani umat untuk merayakan kelahiran Sang Juru Selamat. Ya…inilah untuk pertama kalinya dalam hidupku, aku merayakan Natal tanpa kehadiran keluargaku. Tidak ada bapak, ibu, dan adik-adikku. Kiranya mereka juga merasakan hal yang sama. Natal tanpa kehadiran anggota keluarga yang lengkap.
Meskipun demikian aku menemukan hal-hal baru dalam hidupku. Aku menemukan keheningan. Keheningan itu memberikan aku kesempatan untuk sungguh menimati kudusnya malam kelahiran Tuhan. Keheningan itu belum pernah kutemukan pada Natal yang telah berlalu dalam hidupku. Natal yang biasanya penuh dengan kemegahan, kemewahan, dan kemeriahan.
Dalam keheningan di stasi itu aku yang sedang tanpa keluarga justru menemukan keluarga baru. Keluarga baru itu adalah keluarga kudus. Inilah hal yang selama ini justru tidak aku sadari. Inilah Natal. Saat itu pula aku merasa tinggal bersama keluarga kudus itu. Tinggal dalam suka cita sejati. Suka cita dalam kebersahajaan karena kelahiran anggota yang baru, yaitu Yesus sendiri.
Peristiwa Natal memang menjadi kesempatan yang baik untuk berrefleksi. Aku dapat merasakan bagaimana Allah Bapa merelakan Putera-Nya turun ke dunia membawa damai bagi umat manusia. Inilah wujud cinta yang luar biasa. Cinta itu kemudian berlanjut melalui kerelaan dan pengorbanan Sang Putera dengan rela menjadi sama manusia dan mengalami penderitaan hingga wafat di Salib.
Aku ingat bahwa waktu itu aku berangkat dari seminari dengan membawa ransel besar dan kardus berisi hadiah-hadiah Natal pemberian donatur. Nantinya hadiah-hadiah itu akan kubagikan kepada anak-anak Sekolah Minggu yang jumlahnya tak sampai lima belas orang itu.
Cuaca Wlingi yang begitu panas rupanya menguras energiku. Oleh karena itu, aku memutuskan untuk naik ojek menuju Parang. Ternyata, semalam turun hujan di Parang sehingga jalan yang belum tersentuh aspal itu becek dan licin. Lagi pula, jalan itu menanjak. Aku khawatir kalau jika ojek ini tak mampu mengantar aku sampai ke rumah umat yang berada di atas bukit itu. Benar saja, di tengah perjalanan tiba-tiba motor selip dan nyaris masuk jurang. Syukur kepada Allah, aku masih selamat.
Saat itu juga aku putuskan untuk melanjutkan perjalanan dengan berjalan kaki. Akhirnya sampailah aku ke rumah umat tempat aku menginap dengan bermandi keringat. Meski demikian, aku merasa bahagia masih diberi kesempatan untuk merayakan Natal bersama umat dan berbagi suka cita dengan anak-anak sekolah Minggu. Namun, lebih dari itu semua, aku merasa sungguh bahagia karena boleh mencicipi sedikit saja bentuk pengorbanan seperti yang telah dilakukan oleh Yesus.
Ya…di tempat ini aku memang merayakan Natal dengan orang-orang sederhana. Tidak semua bisa membaca dan menulis. Dahulu orang tua mereka tak mampu menyekolahkan mereka. Sedangkan anak-anak mereka lebih beruntung karena masih sempat sekolah meski hanya sampai SD saja. Meski sederhana mereka ternyata juga punya kekayaan. Kekayaan yang sangat jarang ditemui di tempat lain. Mereka merayakan Natal dengan syukuran bersama pemeluk agama lain. Dari kebersamaan itu tampaklah perdamaian. Itu semua justru terlihat dalam kesederhanaan. Bukankah Yesus sendiri juga lahir dalam kesederhanaan?
Akhirnya, kini Natal datang lagi. Memang aku sudah tidak bertugas di Parang lagi. Aku pun belum tahu akan merayakan Natal di mana dan bersama siapa. Akan tetapi, setiap orang, termasuk aku, akan merayakan Natal di tempat dan suasana berbeda. Namun, Natal itu tetaplah bermakna dalam kesederhanaannya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar