Selasa, 10 November 2009

Mendaki Tahun Rohani


Tak terasa sepuluh bulan hidup di Tahun Rohani hampir berlalu. Memang
ketika masih awal pembinaan hari-hari terasa panjang, sepuluh bulan
adalah waktu yang lama. Namun, ketika dijalani ternyata terasa cepat.
Aku ingat ketika naik Gunung Panderman saat kelas 2 SMA dulu. Waktu
itu sepertinya aku tak akan bisa sampai puncak mengingat jalan yang
sulit, menanjak, dan licin. Perjalananan tidak selalu dapat dilalui
dengan ringan. Tak jarang aku harus merangkak atau terpeleset. Belum
lagi dengan adanya beban yang harus kupanggul. Waktu itu kakiku juga
sempat mengalami kram sebanyak dua kali. Akan tetapi, ternyata aku
dapat mencapai puncak. Dari puncak gunung aku dapat menarik nafas
lega. Aku dapat menikmati pemandangan kerlip lampu kota dari atas
gunung. Ketika keesokan harinya aku turun dan sampai di bawah, aku
menyempatkan diri untuk memandang gunung yang telah kudaki.
Wah…ternyata tinggi juga. Kok aku bisa sampai puncak ya?


Ya, sepuluh bulan terakhir ini ibaratnya aku juga sedang dalam pendakian
“Gunung Tahun Rohani.” Ketika diberi tahu hal-hal apa saja yang
harus aku lakukan selama sepuluh bulan ini yang kupikirkan sama
dengan ketika akan naik gunung. Apakah aku mampu menyelesaikannya?
Akankah aku mencapai puncak? Ternyata yang kualami juga sama. Tak
terasa kini aku hampir tiba di puncak “Gunung Tahun Rohani”,
meski itu harus dijalani dengan melalui aneka tantangan, kerja keras
dan jatuh bangun.

Banyak
pengalaman yang aku peroleh selama di Tahun Rohani ini. Salah satu
yang berkesan adalah ketika sebelum masuk Tahun Rohani aku sering
mendengar komentar dari kakak angkatan yang mengatakan bahwa Tahun
Rohani adalah “surga” dalam pembinaan calon imam diosesan. Di
Tahun Rohani kehidupan sangat bebas, semua diserahkan pada tanggung
jawab pribadi, tidak ada laporan nilai hasil studi, dan sebagainya.
Mendengar hal itu tentu saja yang ada di benakku Tahun Rohani adalah
kesempatan untuk menarik nafas setelah memikul beban studi yang berat
di seminari menengah dan sebelum menjalani kuliah di STFT.


Ternyata tidak semua yang mereka katakan itu benar. Aku justru menghadapi
banyak hal yang sungguh berlainan dengan apa yang dikatakan oleh
kakak-kakak angkatan itu. Selama menjalani Tahun Rohani ini aku
merasakan bahwa tugas-tugas tetap banyak. Renungan mingguan, jurnal
meditasi, resensi, aneka presentasi dan tugas-tugas kuliah seakan tak
pernah berhenti. Belum lagi tugas-tugas komunitas yang juga selalu
menuntut perhatian dan tak bisa ditinggalkan.


Hal lain adalah adanya jadwal kerja setelah bangun pagi. Ini adalah hal
baru bagiku. Aku belum pernah mengalaminya selama di seminari
menengah. Awalnya aku sulit menerima hal ini. Bagiku bekerja ketika
pagi-pagi buta adalah sebuah kegilaan. Apalagi ada komentar dari
kakak-kakak angkatan yang isinya mempertanyakan kegiatan ini. Akan
tetapi, aku tetap mau mencoba merasakan seperti apa kerja setelah
bangun pagi itu. Memang awalnya terasa berat. Dinginnya Kota Malang
ini membuat aku berat untuk bangkit meninggalkan tempat tidur dan
mengambil sapu atau kain pel. Semua terasa berat…ya…naik gunung
memang berat karena jalan yang dilalui menanjak, tetapi…apa yang
berat itu seiring berjalannya waktu menjadi hal yang biasa. Menyapu
atau mengepel di pagi hari justru menjadi semacam pemanasan bagiku
agar tidak mengantuk saat berdoa pagi, selain tentu saja bahwa aku
juga menikmati rumah yang semakin bersih.


Meskipun kadang terasa berat, tetapi aku merasa menerima anugerah yang indah
dari Tuhan, yaitu kesehatan. Sejak kecil aku mudah terserang batuk
atau pilek. Kena air hujan sebentar saja aku akan demam dan jatuh
sakit. Menurut ibuku mungkin ini karena ketika bayi aku tidak terlalu
suka minum ASI (Air Susu Ibu). Aku lebih suka minum susu sapi formula
buatan pabrik. Bisa jadi hal itu berpengaruh pada kekebalan tubuhku.
Hal itu terus terjadi hingga di Seminari Menengah Garum. Aku sering
jatuh sakit. Apalagi jika harus mengerjakan banyak hal yang
menjadikan aku sangat lelah hampir pasti aku akan jatuh sakit. Hal
itu dapat dilihat dari cukup seringnya aku mendapat perawatan di
poliklinik seminari. Akan tetapi, selama hidup di Tahun Rohani ini
aku tidak pernah sakit. Entah mengapa aku sendiri juga tidak tahu.
Padahal gaya hidupku juga tidak jauh berbeda dengan sebelumnya. Apa
pun sebabnya yang pasti aku bersyukur akan semua ini. Dengan
kesehatan yang aku terima ini aku dapat menjalani hidupku dengan
baik. Kesehatan bagiku sungguh penting karena hal itu menunjang
pelayanan. Oleh sebab itu, aku sungguh berusaha menjaga kesehatanku
sehingga dapat terus melayani karena jika jatuh sakit aku justru akan
lebih banyak dilayani.


Dalam mendaki gunung tak jarang aku mengalami rasa sakit. Entah itu karena
kram atau luka-luka akibat tergores duri atau bebatuan yang tajam.
Sudah barang tentu itu adalah sesuatu yang tidak menyenangkan.
Perasaan semacam itu juga kurasakan dalam pendakian di Tahun Rohani
ini. Rasa sakit itu bisa terjadi oleh banyak hal. Misalnya konflik
dengan teman seangkatan atau mungkin adanya perasaan bahwa apa yang
kuharapkan atau kurasakan tidak dipahami atau tidak dimengerti oleh
orang lain.


Aku mengalami bahwa pendakian akan terasa lebih ringan dan menyenangkan
bila dilakukan oleh banyak orang. Selain itu, jumlah orang yang cukup
banyak tentu akan mempermudah dalam pembagian tugas, misalnya untuk
mengangkat aneka perlengkapan. Berkurangnya anggota tentu saja
berpengaruh dalam perjalanan pendakian. Hal yang sama kualami juga
dalam pendakian di Tahun Rohani ini. Baru sekitar satu bulan berjalan
sudah ada satu teman yang mengundurkan diri. Apalagi dia adalah salah
satu teman dekatku. Bulan depannya lagi ternyata ada yang
mengundurkan diri lagi. Namun, itu belum cukup. Bulan ketiga ternyata
ada orang ketiga yang juga mengundurkan diri. Aku khawatir,
jangan-jangan setiap bulan teman-temanku akan mengundurkan diri satu
per satu. Untunglah kekhawatiranku itu tidak terjadi. Perlahan aku
mulai menyesuaikan diri kembali untuk melanjutkan pendakian bersama
dengan teman-teman yang tersisa.


Tentu saja dalam pendakian aku tidak hanya menjumpai hal-hal yang
berat atau sulit saja. Aku juga menjumpai hal-hal yang menyukakan
hati. Kebersamaan dalam bentuk pemberian bantuan ketika ada yang
terpeleset dan jatuh serta tertawa bersama ketika menemukan suka cita
dan kegembiraan adalah hal-hal yang menyenangkan ketika menjalani
pendakian. Di Tahun Rohani hal itu kualami melalui kegiatan-kegiatan
bersama dengan teman-teman. Berkumpul dalam komunitas keuskupan,
unit, atau komunitas besar biasanya akan memunculkan kegembiraan.
Aneka komentar dan celoteh lucu dari teman-teman mampu meringankan
kepenatanku selama menjalani pendakian ini. Selain itu, kegembiraan
ini juga kudapatkan melalui kegiatan rekreasi bersama atau pentas
seni. Melalui itu semua aku dapat merasakan bahwa dengan kegembiraan
maka perjalanan akan terasa cepat dan ringan.


Dalam pendakian aku juga berjumpa dengan hal-hal baru. Banyak tumbuhan atau
mungkin juga aneka fauna yang belum pernah kukenal sebelumnya. Hal
yang semacam itu juga kualami di Tahun Rohani ini. Aku bertemu dengan
banyak hal yang baru. Aku bertemu dengan teman-teman yang berasal
dari berbagai macam latar belakang suku dan kebudayaan. Aku berjumpa
dengan banyak orang baru di lingkungan dan di paroki. Mungkin tidak
semuanya memberi kesan baik untukku, tetapi aku yakin bahwa dengan
hidup bersama mereka aku banyak belajar dan mereka juga memperkaya
diriku.


Pendakian memang melelahkan apalagi jika jalan terus menanjak dan terjal. Sudah
barang tentu tenaga banyak yang terkuras. Agar dapat melanjutkan
perjalanan maka diperlukan istirahat untuk sejenak menarik nafas.
Demikian halnya dengan perjalanan di Tahun Rohani. Aku juga kerap
merasa lelah akan aneka pekerjaaan dan pelayanan. Aku perlu
beristirahat dan istirahat itu kuterima dalam rupa penyegaran rohani.
Salah satu bentuk penyegaran itu adalah retret. Retret selama
menjalani Tahun Rohani kualami sebanyak dua kali. Retret pertama
kujalani di Ngadireso bersama para suster Putri karmel, dan yang
kedua di Karang Widoro bersama Romo B. Hudiono, Pr. Dalam retret aku
menerima hal-hal baru dalam hidupku. Relasi dengan Tuhan juga semakin
kurasakan. Semangat dalam hidup rohani yang mulai menurun
dibangkitkan kembali. Intinya retret memberi kesempatan bagiku untuk
mengisi tenaga sehingga memiliki cukup kekuatan untuk melanjutkan
pendakian.


Kini puncak “Gunung Tahun Rohani” sudah di depan mata. Akan tetapi,
aku sadar bahwa perjalanan panggilanku ini bukan hanya pendakian
sebuah gunung melainkan perjalanan melintasi suatu pegunungan. Banyak
gunung yang harus kudaki. Setelah mendaki “Gunung Seminari
Menengah”, kini aku sudah tiba di ambang puncak “Gunung Tahun
Rohani”. Akan tetapi, masih ada gunung-gunung lain yang lebih
tinggi berada di hadapanku. Gunung-gunung itu tidak untuk
ditaklukkan, tetapi perjalanan melintasi “Pegunungan Panggilan”
merupakan suatu kehidupan. Aku tidak mau menaklukkan kehidupanku,
tetapi aku mau menghidupi kehidupanku. Semoga Ia yang menyerahkan
hidup-Nya bagiku dan memanggil aku senantiasa menyertai perjalanan
hidupku.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar