Selasa, 10 November 2009

Tanggung Jawab Orang Tua dalam Pembinaan Liturgi bagi Anak-anak

Liturgi, khususnya perayaan ekaristi adalah sumber dan puncak hidup Gereja. Liturgi menjadi kekuatan bagi Gereja dalam menjalani peziarahannya. Dengan demikian, sudah layak dan sepantasnya jika liturgi haruslah sungguh-sungguh dihayati oleh seluruh anggota Gereja. Penghayatan dalam liturgi itu bukan hanya soal rajin mengikuti perayaan ekaristi, melainkan juga bagaimana menjadikan ekaristi sebagai bagian dari hidup itu sendiri.

Memang, harus diakui bahwa tidak seluruh umat mampu sungguh-sungguh memiliki penghayatan terhadap ekaristi. Apalagi bagi anak-anak. Anak-anak pada umumnya masih belum sungguh mengerti mengenai ekaristi. Mereka hanya ke gereja untuk merayakan ekaristi karena ikut orang tua. Akan tetapi, bagaimana membuat mereka mampu memahami ekaristi? Siapa yang bertanggung jawab untuk memberikan pembinaan kepada mereka?

Tanggung Jawab Orang Tua terhadap Anak dalam Liturgi

Pedoman Pastoral untuk Misa Anak-anak (Directorium de Missis cum Pueris) yang terbit pada tahun 1973 pada artikel yang ke sepuluh menyatakan bahwa “keluargalah yang memainkan peranan pertama dan terpenting dalam usaha menanamkan nilai-nilai manusiawi dan Kristen itu dalam hati anak-anak. Maka sangat perlu bahwa pendidikan Kristen yang diberikan oleh orang tua dan orang-orang lain dalam keluarga, dibantu serta diarahkan kepada pembinaan liturgi.”

Pedoman pastoral di atas hendak mengatakan bahwa keluarga, terutama orang tua, memiliki tanggung jawab penuh untuk memberikan pembinaan liturgi kepada anak-anak. Ketika pasangan suami istri mengikrarkan janji perkawinan mereka, salah satu yang disebutkan adalah bahwa mereka akan berusaha sekuat tenaga untuk mendidik anak-anak mereka seturut iman Katolik. Dengan demikian, pembinaan liturgi kepada anak-anak juga menjadi pembuktian akan janji yang mereka ucapkan itu.

Secara praktis, pembinaan liturgi kepada anak-anak itu dipaparkan demikian, “Ketika anak-anak dibaptis, orang tua mereka dengan bebas menerima tanggung jawab yang berat untuk mengajar anaknya berdoa. Mereka wajib berdoa bersama dengan anaknya setiap hari dan wajib pula membimbing mereka agar dapat berdoa sendiri. Kalau anak-anak dari kecil disiapkan demikian, dan selalu diajak menghadiri misa bersama dengan keluarga bila mereka minta, maka mereka akan lebih mudah ikut bernyanyi dan berdoa bersama dengan umat, bahkan mereka sudah akan sedikit banyak menghayati makna misteri ekaristi.” (Directorium de Missis cum Pueris art.10).

Tanggung jawab yang diemban oleh orang tua dalam membina anak-anaknya dalam berliturgi memang sangat besar. Sebagai pembina, tentu saja diharapkan bahwa para orang tua tersebut juga tidak lupa untuk membina diri mereka sendiri.Tak jarang mereka juga menghadapi berbagai persoalan-persoalan praktis dalam usaha pembinaan liturgi bagi anak-anak mereka itu.

Persoalan-persoalan yang Dihadapi

Harus diakui bahwa tidak mudah menanamkan nilai-nilai Kristiani, terutama liturgi kepada anak-anak. Pedoman Pastoral untuk Misa Anak-anak (Directorium de Missis cum Pueris) artikel yang kedua mengatakan bahwa pendidikan iman gerejawi bagi anak-anak itu sangat sukar, karena mereka belum dapat mengambil manfaat sepenuh-penuhnya dari perayaan liturgi, khusunya perayaan ekaristi.

Kesukaran-kesukaran yang dihadapi misalnya timbul dari kecenderungan anak untuk bermain-main ketika perayaan ekaristi. Ada dorongan dalam diri mereka untuk berkumpul bersama teman sebayanya sehingga membuat ribut di gereja. Belum lagi kalau yang mulai bertengkar dan menangis. Akan tetapi, itulah dunia anak-anak.

Sekali lagi, orang tua memiliki tanggung jawab untuk membina mereka. Anak-anak masih memiliki keterbatasan untuk menangkap segala sesuatu dalam kehidupan mereka. Dari sebab itu, tidak dapat dituntut bahwa mereka harus selalu memahami segala-galanya dalam liturgi. Meskipun demikian, perkembangan rohani mereka akan sangat dirugikan jika orang tua hanya diam saja. Mereka perlu bantuan dari para orang tua untuk menumbuhkan iman mereka. Hal ini mengandung konsekuensi bahwa kehidupan iman orang tua, terutama dalam berliturgi, haruslah lebih baik dari pada anak-anak mereka.

Kesadaran Orang Tua dalam Membina Anak Berliturgi

Beberapa umat rupanya telah memiliki kesadaran yang cukup baik akan tanggung jawabnya dalam membina anak berliturgi. Sebagai contoh, Bapak Markus, umat Stasi Walikukun, Paroki Santo Yosef Ngawi mengatakan bahwa ia selalu mengajak anak-anaknya yang masih kecil untuk mengikuti ekaristi. “Anak-anak selalu saya usahakan untuk duduk di samping saya. Ini adalah salah satu cara saya untuk membina mereka dalam berliturgi. Hanya saja, mereka biasanya tidak tahan lama untuk duduk diam mengikuti ekaristi. Mereka masih ingin bertemu dan bermain dengan teman-temannya.”, ujarnya.

Sedangkan Ibu L. Anjani, juga umat Stasi Walikukun, mengungkapkan bagaimana sulitnya membina anak-anaknya dalam berliturgi. “Saya juga berusaha mendidik anak-anak dalam berliturgi. Saya pernah merasakan sulitnya mendidik mereka. Pernah suatu kali saya harus memegang erat anak saya yang ingin lari-lari di dalam Gereja, karena saya tahu bahwa imam yang memimpin misa itu tak segan-segan untuk langsung menegur orang tua yang membiarkan anaknya ramai atau bermain-main di dalam Gereja.”, ungkap ibu yang juga seorang pendidik dan pemerhati kaum muda ini.

Pentingnya ekaristi memang perlu ditanamkan kepada anak-anak sejak dini. Beberapa umat sudah memiliki kesadaran ini. “Saya selalu mengatakan kepada anak-anak saya bahwa mengikuti ekaristi, terutama pada hari Minggu, adalah nomor satu. Ekaristi itu penting dan harus diutamakan. Oleh karena itu, pada hari Minggu, anak-anak harus memprioritaskan waktunya untuk ekaristi, baru kemudian untuk kegiatan yang lain.”, demikian kesaksian Ibu Ismari Teguh Prartono, umat Paroki Santo Paulus Nganjuk yang juga Ketua WKRI Cabang Nganjuk ini.

Kiranya adanya kesadaran dari para orang tua untuk membina anak-anak mereka dalam berliturgi ini sudah cukup menggembirakan. Akan tetapi, kita juga tidak boleh menutup mata akan kenyataan bahwa masih ada pula orang tua yang mengabaikan pembinaan liturgi kepada anak-anak mereka. Pepatah Latin mengatakan, nemo dat quod non habet, tak seorang pun dapat memberi apa yang tidak ia miliki. Oleh karena itu, hendaklah para orang tua juga tidak melupakan pembinaan liturgi bagi dirinya sendiri, sehingga mereka pun mampu memberikan pembinaan kepada anak-anak mereka.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar