Selasa, 10 November 2009

Capek Deh…

Biasanya, pada hari libur para frater Tahun Rohani mendapat kesempatan cukup
panjang untuk jalan-jalan ke luar seminari. Kesempatan semacam itu
juga terjadi saat libur Paskah kali ini. Banyak hal yang bisa
dilakukan oleh para frater selama waktu bebas yang dimulai setelah
Misa dan sarapan hingga sore hari itu. Ada yang pergi ke
tempat-tempat rekreasi, menghabiskan waktu di toko buku, mendekam di
warung internet, mengunjungi umat di lingkungan tempat mereka
berpastoral, atau tetap tinggal di seminari dan menghabiskan waktu
dengan membaca koran, nonton televisi, membersihkan kamar atau
melakukan aneka kegiatan rekreatif lainnya.

Pada liburan Paskah ini, bersama dua frater yang lain aku memutuskan untuk mengunjungi umat di lingkungan dan mengucapkan selamat Paskah kepada mereka. Kami mulai
menyusun rencana kira-kira rumah siapa yang akan kami kunjungi. Kami
juga memperkirakan waktu yang akan kami gunakan selama kunjungan
mengingat perjalanan itu akan kami tempuh dengan berjalan kaki.

Akhirnya kami bertiga berangkat dengan penuh suka cita. Ya, jalan-jalan ke luar seminari
berarti juga bertemu dengan suasana yang membawa kesegaran baru.
Apalagi pada umumnya umat akan menyambut gembira kedatangan
frater-frater yang mereka sayangi ini.

Di bawah sinar matahari yang hangat, kami mulai berjalan menuju rumah umat. Tujuan pertama
adalah rumah ketua lingkungan tempat aku berpastoral. Perjalanan dari
Tahun Rohani menuju rumah beliau memakan waktu kira-kira 30 menit
dengan berjalan kaki. Sampai di muka pagar rumah beliau aku mulai
mengucapkan salam.

“Permisi…”

Masih belum ada jawaban.

“Permisi…”,
kuulangi lagi dengan suara lebih keras.

Guk…guk…guk…”

Ternyata yang menyahut hanya anjingnya saja. Aku menunggu sebentar dan tak lama kemudian
pintu rumah dibuka oleh pembantu sang empunya rumah.

“Cari siapa mas?”

“ Pak Basuki ada mbak?”

“Wah…Pak Basuki lagi nggak di rumah nih…lagi ikut Misa lansia di Gereja Lely. Ada pesan?”

“Eh…gini aja mbak.
Sampaikan ke Pak Basuki kalau tadi frater ke sini, terus pesannya
selamat Paskah aja…”, sahutku.

“Oh…ya mas, nanti
saya sampaikan.”, jawabnya.

Pintu rumah kembali ditutup. Kami melanjutkan perjalanan. Selanjutnya adalah rumah ketua
lingkungan tempat pastoral kawan seperjalananku. Jaraknya tidak jauh,
kira-kira 10 menit jalan kaki dari rumah yang pertama kami kunjungi.

Akhirnya sampailah kami
di rumah yang kedua. Suasana rumah ini sepi. Pagarnya tertutup,
tetapi tidak terkunci. Kami mulai mencari bel dan membunyikannya. Tak
lama kemudian muncul perempuan setengah baya membukakan pintu.

“Pak David ada?”, tanya temanku.

“Oh…Pak David sedang ke Gereja Cor Jesu membaptiskan putranya mas…saya pembantunya dan yang ada cuma saya sendiri di sini. Mas ini siapa dan ada keperluan apa?”, sahut sang pembantu.

“Saya frater dari Tahun Rohani…ya sudah kalau nanti Pak David pulang tolong sampaikan
selamat Paskah dari kami.”

Sudah dua rumah yang rencananya kami kunjungi ternyata pemiliknya sedang tidak di rumah
semua. Akhirnya kami mencari rumah umat yang kami kenal yang ada di
sekitar daerah itu, tetapi sama saja. Semua rumah terkunci rapat.
Mungkin hari libur adalah kesempatan berharga bagi mereka untuk
menghabiskan waktu di luar rumah bersama keluarga.

Oleh karena sudah kebingungan mencari rumah umat mana lagi yang akan kami kunjungi,
tiba-tiba muncul ide untuk mengunjungi rumah Bu Herman, Ekonom Tahun
Rohani. Rumah Bu Herman letaknya cukup jauh. Oleh karena itu, kami
memutuskan untuk naik mikrolet. Namun, cukup lama menunggu ternyata
tidak muncul juga mikrolet yang kami nanti.

“Jangan-jangan mikroletnya nggak lewat sini.”, kataku.

“Ah…nggak mungkin…pasti ini jalur mikroletnya.”, sanggah temanku.

Karena cukup lama menunggu, akhirnya aku mengusulkan agar menunggu mikrolet sambil
jalan dulu. Apalagi panas matahari sudah semakin menyengat. Sambil
berjalan kami masih mengharapkan kedatangan mikrolet. Akan tetapi,
mikrolet itu tak kunjung datang. Akhirnya, sampailah kami di rumah Bu
Herman tidak dengan naik mikrolet, tetapi tetap dengan berjalan kaki.
Dengan peluh bercucuran kami mencoba membuka pintu pagar depan.
Hah…ternyata pintunya terkunci. Kami mencoba memanggil Bu Herman,
tetapi tak ada jawaban. Kami melihat bahwa suasana rumah memang
sungguh sepi dan tampaknya tak ada orang di dalamnya. Akhirnya kami
bertiga terduduk lemas sambil berteduh di bawah pohon sambil meratapi
nasib. Mengapa semua orang yang ingin kami jumpai hari ini tidak ada
di rumah? Ah…betapa bodohnya kami. Mengapa tidak telepon dulu dan
membuat janji dengan mereka? Sementara kami telah berjalan
berkilo-kilo dan berjam-jam tanpa hasil.

Oleh karena tidak tahu harus berbuat apa lagi, dengan langkah gontai kami mulai berjalan
kembali ke Tahun Rohani. Namun, kali ini separuh perjalanan kembali
ke Tahun Rohani bisa dilalui dengan naik mikrolet. Sampai di Tahun
Rohani kami langsung menuju ruang makan dengan maksud mengusir dahaga
kami. Di ruang makan ternyata ada Mbak Yanti, tetangga belakang
seminari sedang ngobrol dengan beberapa frater sambil menikmati aneka
makanan kecil.

“Dari mana ter kok sampai gobyos begitu?”, tanya Mbak Yanti.

“Habis kunjungan ke rumah umat mbak…”, jawabku.

“Terus, dapat berapa rumah hari ini?”, tanyanya lagi.

“Rumahnya sih banyak, cuma nggak ada orangnya…”, sahutku.

“Oalah ter…ter…kasihan…memang kalau Paskah begini banyak umat yang
pergi. Lain kalau Natal, mereka lebih banyak di rumah. Makanya kalau
mau Paskahan itu mbok ke rumah umat yang dekat dulu…tadi
lewat depan rumahku juga nggak mau mampir. Jangankan mampir,
nengok saja juga nggak…memang gimana sih ter rasanya jalan
berjam-jam?”, ujar Mbak Yanti sambil tersenyum.

“Capek deehh…”, jawabku sambil meninggalkan ruang makan.

Hmm…mendengar apa yang dikatakan Mbak Yanti itu aku hanya terdiam. Mungkin ada benarnya juga apa yang dikatakannya. Selama ini mungkin aku terlalu sibuk dengan
aneka kegiatan di luar diriku. Aku kurang memerhatikan hal-hal yang
ada di dekatku atau bahkan di dalam diriku. Padahal aku tahu bahwa
Tahun Rohani merupakan saat yang sangat baik untuk mengolah diriku
sehingga nanti ketika tiba saatnya bagiku untuk berkarya aku sudah
siap. Sungguh suatu pengalaman sederhana, tetapi berharga bagiku.
Semoga dalam meniti jalan panggilan yang masih panjang ini aku tidak
lagi mengeluh, capek deh….

Tidak ada komentar:

Posting Komentar