Jumat, 13 November 2009

Merayakan Natal Sebagai Calon Imam

Aku masih ingat dengan baik bagaimana ketika aku masih kecil merayakan Natal bersama keluarga di rumah. Beberapa minggu sebelum Natal aku merasakan bagaimana keluarga kami begitu sibuk. Bapak sibuk menyiapkan Gereja, Ibu harus ikut latihan koor, sedangkan aku dan adik harus ikut latihan-latihan bersama anak-anak Sekolah Minggu di Gereja. Kemudian, ketika malam Natal kami bersama-sama sekeluarga berangkat ke Gereja dan merayakan Hari Raya Kelahiran Tuhan itu bersama umat yang lain. Setelah perayaan Ekaristi, biasanya kami sekeluarga berkumpul dan saling mengucapkan selamat. Ahh…Natal yang begitu indah…
Kini, aku telah tujuh tahun hidup sebagai calon imam di seminari. Hidup di seminari berarti sangat jarang bertemu dengan keluarga. Hal ini berlaku pula ketika merayakan Natal. Tidak setiap Natal aku mendapat kesempatan untuk merayakannya bersama dengan keluarga di rumah. Salah satunya terjadi empat tahun yang lalu.
Waktu itu aku masih duduk di Kelas IV Seminari Menengah Garum dan menjalani pastoral di Stasi Parang, Paroki St. Petrus-Paulus Wlingi, Blitar. Stasi itu berada sekitar 20 Kilometer di sebelah utara Wlingi. Stasi itu terletak di atas sebuah bukit kecil yang ditumbuhi pohon pinus. Udaranya sejuk dan jauh dari hangar binger kendaraan bermotor dan kendaraan bermotor.
Aku sadar bahwa sebagai calon imam yang bertugas pastoral aku harus menemani umat untuk merayakan kelahiran Sang Juru Selamat. Ya…inilah untuk pertama kalinya dalam hidupku, aku merayakan Natal tanpa kehadiran keluargaku. Tidak ada bapak, ibu, dan adik-adikku. Kiranya mereka juga merasakan hal yang sama. Natal tanpa kehadiran anggota keluarga yang lengkap.
Meskipun demikian aku menemukan hal-hal baru dalam hidupku. Aku menemukan keheningan. Keheningan itu memberikan aku kesempatan untuk sungguh menimati kudusnya malam kelahiran Tuhan. Keheningan itu belum pernah kutemukan pada Natal yang telah berlalu dalam hidupku. Natal yang biasanya penuh dengan kemegahan, kemewahan, dan kemeriahan.
Dalam keheningan di stasi itu aku yang sedang tanpa keluarga justru menemukan keluarga baru. Keluarga baru itu adalah keluarga kudus. Inilah hal yang selama ini justru tidak aku sadari. Inilah Natal. Saat itu pula aku merasa tinggal bersama keluarga kudus itu. Tinggal dalam suka cita sejati. Suka cita dalam kebersahajaan karena kelahiran anggota yang baru, yaitu Yesus sendiri.
Peristiwa Natal memang menjadi kesempatan yang baik untuk berrefleksi. Aku dapat merasakan bagaimana Allah Bapa merelakan Putera-Nya turun ke dunia membawa damai bagi umat manusia. Inilah wujud cinta yang luar biasa. Cinta itu kemudian berlanjut melalui kerelaan dan pengorbanan Sang Putera dengan rela menjadi sama manusia dan mengalami penderitaan hingga wafat di Salib.
Aku ingat bahwa waktu itu aku berangkat dari seminari dengan membawa ransel besar dan kardus berisi hadiah-hadiah Natal pemberian donatur. Nantinya hadiah-hadiah itu akan kubagikan kepada anak-anak Sekolah Minggu yang jumlahnya tak sampai lima belas orang itu.
Cuaca Wlingi yang begitu panas rupanya menguras energiku. Oleh karena itu, aku memutuskan untuk naik ojek menuju Parang. Ternyata, semalam turun hujan di Parang sehingga jalan yang belum tersentuh aspal itu becek dan licin. Lagi pula, jalan itu menanjak. Aku khawatir kalau jika ojek ini tak mampu mengantar aku sampai ke rumah umat yang berada di atas bukit itu. Benar saja, di tengah perjalanan tiba-tiba motor selip dan nyaris masuk jurang. Syukur kepada Allah, aku masih selamat.
Saat itu juga aku putuskan untuk melanjutkan perjalanan dengan berjalan kaki. Akhirnya sampailah aku ke rumah umat tempat aku menginap dengan bermandi keringat. Meski demikian, aku merasa bahagia masih diberi kesempatan untuk merayakan Natal bersama umat dan berbagi suka cita dengan anak-anak sekolah Minggu. Namun, lebih dari itu semua, aku merasa sungguh bahagia karena boleh mencicipi sedikit saja bentuk pengorbanan seperti yang telah dilakukan oleh Yesus.
Ya…di tempat ini aku memang merayakan Natal dengan orang-orang sederhana. Tidak semua bisa membaca dan menulis. Dahulu orang tua mereka tak mampu menyekolahkan mereka. Sedangkan anak-anak mereka lebih beruntung karena masih sempat sekolah meski hanya sampai SD saja. Meski sederhana mereka ternyata juga punya kekayaan. Kekayaan yang sangat jarang ditemui di tempat lain. Mereka merayakan Natal dengan syukuran bersama pemeluk agama lain. Dari kebersamaan itu tampaklah perdamaian. Itu semua justru terlihat dalam kesederhanaan. Bukankah Yesus sendiri juga lahir dalam kesederhanaan?
Akhirnya, kini Natal datang lagi. Memang aku sudah tidak bertugas di Parang lagi. Aku pun belum tahu akan merayakan Natal di mana dan bersama siapa. Akan tetapi, setiap orang, termasuk aku, akan merayakan Natal di tempat dan suasana berbeda. Namun, Natal itu tetaplah bermakna dalam kesederhanaannya.

Kamis, 12 November 2009

Analisis Slumdog Millionaire


Pengantar
Masyarakat adalah suatu sistem sosial yang tersusun dari individu dan kelompok yang beriteraksi secara tetap dan terpola. Masyarakat dapat pula dikatakan sebagai suatu totalitas manusia di muka bumi bersama dengan kulturnya, institusinya, keahliannya, idenya, dan nilai-nilainya. Dari pengertian di atas, masyarakat dapat dipertentangkan dengan individu. Artinya, satu individu belumlah dapat dikatakan sebagai suatu masyarakat, sekalipun masyarakat itu terdiri dari individu-individu.
Setiap masyarakat tentu memiliki identitas yang khas. Identitas tersebut dapat muncul karena adanya interaksi dan sosialisasi di dalam masyarakat tersebut. Setiap masyarakat juga memiliki suatu sistem atau organisasi yang mengakomodasi hubungan antar manusia dalam masyarakat tersebut. Sistem itulah yang disebut dengan struktur sosial . Selain itu, tentu saja di dalam masyarakat itu juga terjadi dinamika. Dinamika yang merupakan suatu gerak perubahan sosial entah ke arah positif maupun sebaliknya.
Salah satu contoh dari masyarakat itu terekam dalam film Slumdog Millionaire. Film ini menampilkan sebagian keadaan masyarakat India yang tersaji melalui liku-liku kehidupan para tokoh yang ada. Dalam film tersebut terdapat serpihan-serpihan data dan nilai yang menggambarkan sebagian kehidupan masyarakat India, terutama mengenai struktur dan dinamika masyarakatnya. Di sini serpihan-serpihan dicoba untuk dikumpulkan.

India sebagai Latar Tempat Film Slumdog Millionaire
Melihat fenomena dan situasi masyarakat India sebagaimana digambarkan dalam setting film Slumdog Millionaire tentu publik akan dibawa pada suatu perubahan pola pikir dan kesadaran baru terhadap situasi yang sebenarnya terjadi di Negara India. Selama ini India dikenal masyarakat luas dari film-film Bollywood yang hampir selalu mengambil latar tempat yang memberi kesan bahwa India adalah suatu surga yang memiliki segala keindahan yang dirindukan semua orang. Karya seni, terlebih musik dan tari, begitu mendarah daging dan mendapat tempat yang istimewa di hati setiap penduduknya, sampai-sampai muncul ungkapan bahwa bangsa India dapat menyelesaikan segala masalahnya dengan menari dan menyanyi. Semua gambaran kemegahan dan kemewahan India dalam Bollywood mendapatkan kontrasnya dalam Slumdog Millionaire.
Latar sosio-masyarakat Slumdog Millionaire merupakan suatu interpretasi yang lebih mendekati keadaan masyarakat India yang sesungguhnya. Persoalan-persoalan kemiskinan, kekerasan akibat konflik antar agama dan kasta serta eksploitasi terhadap anak merupakan suatu persoalan yang sangat identik dengan bangsa India, dalam arti bangsa India telah sejak lama bergulat dengannya. Selain mengundang keprihatinan publik, situasi masyarakat India yang demikian juga menarik untuk menjadi materi studi tentang kemasyarakatan. Oleh karena itu, karya tulis ini merupakan suatu bentuk usaha untuk mengkajinya lebih lanjut, yakni dengan melakukan analisis terhadap dinamika dan struktur masyarakat India berdasarkan film Slumdog Millionaire.

Kompleksitas Persoalan Masyarakat India

Mencermati situasi masyarakat India sebagaimana digambarkan dalam film Slumdog Millionaire, maka dapat ditemukan kompleksitas persoalan yang ada dalam masyarakat India. Sejumlah besar masyarakat yang miskin tinggal dan memadati suatu perkampungan yang benar-benar kumuh. Bisa jadi kemiskinan penduduk dalam skala yang besar ini mengawali munculnya masalah-masalah lainnya, seperti kesenjangan sosial. Kesenjangan sosial tampak nyata dalam sekuel yang menampilkan beberapa anak kecil sedang berkejaran dengan pamong praja. Ketika berlari menyusuri gang-gang sempit di perkampungan kumuh, di ujung jalan mereka menabrak sebuah mobil milik seorang kaya. Kehadiran orang kaya bermobil itu sangat kontras dengan situasi yang terjadi di perkampungan kumuh yang miskin itu. Ada suatu kesenjangan yang tampak dalam sekuel ini.
Munculnya perkampungan kumuh yang juga merupakan tanda kemiskinan masyarakat bisa jadi muncul akibat dinamika dan pola pikir masyarakat India itu sendiri. Orang-orang India pada umumnya berkumpul di kota besar untuk mencari pekerjaan . Hal ini tentu saja mengakibatkan terjadinya ledakan penduduk. Selanjutnya dapat dipastikan munculnya berbagai persoalan, seperti lalu lintas yang tidak teratur atau kriminalitas. Selain itu, juga secara otomatis akan memunculkan pemukiman di pinggiran kota (slum) yang biasanya kumuh.
Perkampungan kumuh itu dapat dilihat dari penataannya yang tidak teratur. Selain itu, juga material bangunan yang tidak memadai dan kesadaran akan kesehatan serta kualitas fasilitas-fasilitas penunjang hidup yang rendah. Sebagai contoh adalah ditampilkannya toilet umum yang dibangun dengan material seadanya dan mungkin sangat tidak memenuhi standar kesehatan. Selain itu, ditampilkan pula suasana ruang kelas yang sangat tidak kondusif untuk belajar. Ruangannya sempit, pengap, dan dipenuhi oleh anak-anak yang sedang belajar. Bahkan ada anak yang harus duduk di lantai.
Situasi kemiskinan dan kepadatan penduduk dalam perkampungan kumuh ini tentu berdampak serius bagi masyarakatnya, terutama anak-anak. Oleh karena kemiskinan dan padatnya perumahan kumuh itu, mereka kehilangan haknya sebagai seorang anak yang sedang dalam proses perkembangan. Salah satu contoh adalah bahwa mereka kehilangan hak untuk bermain bersama dengan teman-temannya. Keterbatasan tempat bermain membuat mereka pada akhirnya kerap dikejar-kejar pamong praja.
Selain itu, kemiskinan yang terjadi dalam masyarakat India menjadikan anak-anak sebagai objek kekerasan dan menjadi semacam alat pencetak uang bagi orang-orang yang bermaksud jahat. Realitas ini tampak dalam sekuel ketika seorang laki-laki mengumpulkan banyak anak dan menjadikannya cacat sehingga menarik simpati banyak orang ketika mereka turun ke jalan-jalan untuk mengemis. Kerasnya “pendidikan” yang diterima dari lingkungan tempat tinggal mereka mau-tidak mau pasti turut andil dalam pembentukan karakter seorang anak. Ketika seorang anak dididik dan dibesarkan dalam lingkungan yang keras maka anak itu atau akan belajar menghadapi kekerasan itu atau justru dirinya sendiri akan tumbuh menjadi seorang yang kasar. Tokoh Salim mewakili produk seorang anak yang dididik dan dibesarkan dalam situasi semacam ini.
Masalah lain terkait dengan situasi masyarakat India adalah mengenai struktur masyarakatnya. Seperti yang telah diketahui publik bahwa bangsa India merupakan salah satu dari sekian bangsa yang masih menjaga adanya hirarki masyarakat yang berdasarkan kasta. Ini merupakan salah satu budaya yang tidak mudah luntur oleh modernisasi sekalipun. Isu kasta ini dapat dikatakan sebagai ide dasar dari seluruh kisah ironis dari film Slumdog Millionaire. Kecurigaan dan aneka tuduhan lengkap dengan berbagai macam siksaan dilancarkan kepada Jamal hanya karena dia adalah seorang “slumdog” yang bisa mencapai angka sangat tinggi dalam kuis Who Wants to Be a Millionaire, bahkan melebihi angka yang diperoleh “orang-orang jenius” yang pernah mengikuti kuis ini.
Memang persoalan kasta tidak secara gamblang diungkapkan dalam film tersebut, meskipun demikian kekerasan yang dialami oleh Jamal ini dapat menjadi suatu indikasi bahwa kasta telah menyunat banyak bagian dari hak-hak yang seharusnya bisa dimiliki oleh setiap manusia. Oleh karena kasta, hak untuk menjadi “jenius” seakan dimonopoli oleh kelompok kasta tertentu. Kelompok kasta yang lebih tinggi memiliki “hak paten” atas beberapa hak azasi manusia sehingga yang lebih rendah tidak akan pernah boleh memperolehnya. Inilah ironi suatu masyarakat yang strukturnya didirikan atas budaya kasta. Isu mengenai penegakkan HAM akan menemui kesulitan dalam setiap upayanya dan tentunya peluang bagi pelanggaran serta penyimpangannya akan semakin banyak mendapat celah.
Barang kali perubahan nasib yang dialami oleh Jamal dapat juga ditafsirkan sebagai suatu dinamika masyarakat India. Jamal yang semula adalah anak miskin yang tinggal di perkampungan kumuh setelah melalui suatu proses dalam hidupnya berubah menjadi pemuda kaya. Kiranya hal yang sama terjadi dalam masyarakat India itu sendiri. Misalnya ditunjukkan dalam adegan ketika Jamal bertemu dengan Salim untuk pertama kalinya setelah sekian lama. Pada saat itu pertemuan terjadi di suatu gedung bertingkat yang sedang dibangun. Juga kemudian ditampilkan panorama gedung pencakar langit yang telah menggusur perkampungan kumuh. Kiranya pemandangan itu merupakan tanda geliat kemajuan perekonomian sebagian masyarakat India.

Penutup
Slumdog Millionaire merupakan film yang berusaha menonjolkan realitas masyarakat India, khususnya Mumbay. Memang apa yang dapat terekam dalam film ini hanyalah sebagian kecil saja dari keadaan sebenarnya. Meskipun demikian, serpihan-serpihan realitas masyarakat India yang ditampilkan dalam film ini kiranya telah cukup untuk dijadikan bahan belajar mengenai dinamika dan struktur suatu masyarakat tertentu.
Melihat film Slumdog Millionaire ini barang kali akan membuka mata para pemirsanya akan kerasnya kehidupan. Anak-anak yang hidup di daerah kumuh rupanya harus berhadapan dengan kemiskinan dan kekerasan. Mereka telah kehilangan masa kecilnya yang bahagia. Mereka mungkin juga kehilangan kesempatan untuk memperoleh pendidikan serta segala fasilitas yang memadai bagi hidup mereka.
Dari keadaan tersebut dapat diajukan pertanyaan, bila mereka tumbuh dalam masyarakat yang miskin dan keras, lalu masyarakat macam apa yang akan mereka bentuk nantinya? Sangat mungkin bahwa mereka akan membentuk masyarakat yang sama pula. Akan tetapi, akan tetap ada peluang untuk suatu perubahan atau dinamika masyarakat ke arah yang positif. Sekali lagi, film Slumdog Millionaire ini turut membuka mata pemirsanya untuk peka akan realitas sosial yang terjadi di sekitarnya.

Selasa, 10 November 2009

Capek Deh…

Biasanya, pada hari libur para frater Tahun Rohani mendapat kesempatan cukup
panjang untuk jalan-jalan ke luar seminari. Kesempatan semacam itu
juga terjadi saat libur Paskah kali ini. Banyak hal yang bisa
dilakukan oleh para frater selama waktu bebas yang dimulai setelah
Misa dan sarapan hingga sore hari itu. Ada yang pergi ke
tempat-tempat rekreasi, menghabiskan waktu di toko buku, mendekam di
warung internet, mengunjungi umat di lingkungan tempat mereka
berpastoral, atau tetap tinggal di seminari dan menghabiskan waktu
dengan membaca koran, nonton televisi, membersihkan kamar atau
melakukan aneka kegiatan rekreatif lainnya.

Pada liburan Paskah ini, bersama dua frater yang lain aku memutuskan untuk mengunjungi umat di lingkungan dan mengucapkan selamat Paskah kepada mereka. Kami mulai
menyusun rencana kira-kira rumah siapa yang akan kami kunjungi. Kami
juga memperkirakan waktu yang akan kami gunakan selama kunjungan
mengingat perjalanan itu akan kami tempuh dengan berjalan kaki.

Akhirnya kami bertiga berangkat dengan penuh suka cita. Ya, jalan-jalan ke luar seminari
berarti juga bertemu dengan suasana yang membawa kesegaran baru.
Apalagi pada umumnya umat akan menyambut gembira kedatangan
frater-frater yang mereka sayangi ini.

Di bawah sinar matahari yang hangat, kami mulai berjalan menuju rumah umat. Tujuan pertama
adalah rumah ketua lingkungan tempat aku berpastoral. Perjalanan dari
Tahun Rohani menuju rumah beliau memakan waktu kira-kira 30 menit
dengan berjalan kaki. Sampai di muka pagar rumah beliau aku mulai
mengucapkan salam.

“Permisi…”

Masih belum ada jawaban.

“Permisi…”,
kuulangi lagi dengan suara lebih keras.

Guk…guk…guk…”

Ternyata yang menyahut hanya anjingnya saja. Aku menunggu sebentar dan tak lama kemudian
pintu rumah dibuka oleh pembantu sang empunya rumah.

“Cari siapa mas?”

“ Pak Basuki ada mbak?”

“Wah…Pak Basuki lagi nggak di rumah nih…lagi ikut Misa lansia di Gereja Lely. Ada pesan?”

“Eh…gini aja mbak.
Sampaikan ke Pak Basuki kalau tadi frater ke sini, terus pesannya
selamat Paskah aja…”, sahutku.

“Oh…ya mas, nanti
saya sampaikan.”, jawabnya.

Pintu rumah kembali ditutup. Kami melanjutkan perjalanan. Selanjutnya adalah rumah ketua
lingkungan tempat pastoral kawan seperjalananku. Jaraknya tidak jauh,
kira-kira 10 menit jalan kaki dari rumah yang pertama kami kunjungi.

Akhirnya sampailah kami
di rumah yang kedua. Suasana rumah ini sepi. Pagarnya tertutup,
tetapi tidak terkunci. Kami mulai mencari bel dan membunyikannya. Tak
lama kemudian muncul perempuan setengah baya membukakan pintu.

“Pak David ada?”, tanya temanku.

“Oh…Pak David sedang ke Gereja Cor Jesu membaptiskan putranya mas…saya pembantunya dan yang ada cuma saya sendiri di sini. Mas ini siapa dan ada keperluan apa?”, sahut sang pembantu.

“Saya frater dari Tahun Rohani…ya sudah kalau nanti Pak David pulang tolong sampaikan
selamat Paskah dari kami.”

Sudah dua rumah yang rencananya kami kunjungi ternyata pemiliknya sedang tidak di rumah
semua. Akhirnya kami mencari rumah umat yang kami kenal yang ada di
sekitar daerah itu, tetapi sama saja. Semua rumah terkunci rapat.
Mungkin hari libur adalah kesempatan berharga bagi mereka untuk
menghabiskan waktu di luar rumah bersama keluarga.

Oleh karena sudah kebingungan mencari rumah umat mana lagi yang akan kami kunjungi,
tiba-tiba muncul ide untuk mengunjungi rumah Bu Herman, Ekonom Tahun
Rohani. Rumah Bu Herman letaknya cukup jauh. Oleh karena itu, kami
memutuskan untuk naik mikrolet. Namun, cukup lama menunggu ternyata
tidak muncul juga mikrolet yang kami nanti.

“Jangan-jangan mikroletnya nggak lewat sini.”, kataku.

“Ah…nggak mungkin…pasti ini jalur mikroletnya.”, sanggah temanku.

Karena cukup lama menunggu, akhirnya aku mengusulkan agar menunggu mikrolet sambil
jalan dulu. Apalagi panas matahari sudah semakin menyengat. Sambil
berjalan kami masih mengharapkan kedatangan mikrolet. Akan tetapi,
mikrolet itu tak kunjung datang. Akhirnya, sampailah kami di rumah Bu
Herman tidak dengan naik mikrolet, tetapi tetap dengan berjalan kaki.
Dengan peluh bercucuran kami mencoba membuka pintu pagar depan.
Hah…ternyata pintunya terkunci. Kami mencoba memanggil Bu Herman,
tetapi tak ada jawaban. Kami melihat bahwa suasana rumah memang
sungguh sepi dan tampaknya tak ada orang di dalamnya. Akhirnya kami
bertiga terduduk lemas sambil berteduh di bawah pohon sambil meratapi
nasib. Mengapa semua orang yang ingin kami jumpai hari ini tidak ada
di rumah? Ah…betapa bodohnya kami. Mengapa tidak telepon dulu dan
membuat janji dengan mereka? Sementara kami telah berjalan
berkilo-kilo dan berjam-jam tanpa hasil.

Oleh karena tidak tahu harus berbuat apa lagi, dengan langkah gontai kami mulai berjalan
kembali ke Tahun Rohani. Namun, kali ini separuh perjalanan kembali
ke Tahun Rohani bisa dilalui dengan naik mikrolet. Sampai di Tahun
Rohani kami langsung menuju ruang makan dengan maksud mengusir dahaga
kami. Di ruang makan ternyata ada Mbak Yanti, tetangga belakang
seminari sedang ngobrol dengan beberapa frater sambil menikmati aneka
makanan kecil.

“Dari mana ter kok sampai gobyos begitu?”, tanya Mbak Yanti.

“Habis kunjungan ke rumah umat mbak…”, jawabku.

“Terus, dapat berapa rumah hari ini?”, tanyanya lagi.

“Rumahnya sih banyak, cuma nggak ada orangnya…”, sahutku.

“Oalah ter…ter…kasihan…memang kalau Paskah begini banyak umat yang
pergi. Lain kalau Natal, mereka lebih banyak di rumah. Makanya kalau
mau Paskahan itu mbok ke rumah umat yang dekat dulu…tadi
lewat depan rumahku juga nggak mau mampir. Jangankan mampir,
nengok saja juga nggak…memang gimana sih ter rasanya jalan
berjam-jam?”, ujar Mbak Yanti sambil tersenyum.

“Capek deehh…”, jawabku sambil meninggalkan ruang makan.

Hmm…mendengar apa yang dikatakan Mbak Yanti itu aku hanya terdiam. Mungkin ada benarnya juga apa yang dikatakannya. Selama ini mungkin aku terlalu sibuk dengan
aneka kegiatan di luar diriku. Aku kurang memerhatikan hal-hal yang
ada di dekatku atau bahkan di dalam diriku. Padahal aku tahu bahwa
Tahun Rohani merupakan saat yang sangat baik untuk mengolah diriku
sehingga nanti ketika tiba saatnya bagiku untuk berkarya aku sudah
siap. Sungguh suatu pengalaman sederhana, tetapi berharga bagiku.
Semoga dalam meniti jalan panggilan yang masih panjang ini aku tidak
lagi mengeluh, capek deh….

Tanggung Jawab Orang Tua dalam Pembinaan Liturgi bagi Anak-anak

Liturgi, khususnya perayaan ekaristi adalah sumber dan puncak hidup Gereja. Liturgi menjadi kekuatan bagi Gereja dalam menjalani peziarahannya. Dengan demikian, sudah layak dan sepantasnya jika liturgi haruslah sungguh-sungguh dihayati oleh seluruh anggota Gereja. Penghayatan dalam liturgi itu bukan hanya soal rajin mengikuti perayaan ekaristi, melainkan juga bagaimana menjadikan ekaristi sebagai bagian dari hidup itu sendiri.

Memang, harus diakui bahwa tidak seluruh umat mampu sungguh-sungguh memiliki penghayatan terhadap ekaristi. Apalagi bagi anak-anak. Anak-anak pada umumnya masih belum sungguh mengerti mengenai ekaristi. Mereka hanya ke gereja untuk merayakan ekaristi karena ikut orang tua. Akan tetapi, bagaimana membuat mereka mampu memahami ekaristi? Siapa yang bertanggung jawab untuk memberikan pembinaan kepada mereka?

Tanggung Jawab Orang Tua terhadap Anak dalam Liturgi

Pedoman Pastoral untuk Misa Anak-anak (Directorium de Missis cum Pueris) yang terbit pada tahun 1973 pada artikel yang ke sepuluh menyatakan bahwa “keluargalah yang memainkan peranan pertama dan terpenting dalam usaha menanamkan nilai-nilai manusiawi dan Kristen itu dalam hati anak-anak. Maka sangat perlu bahwa pendidikan Kristen yang diberikan oleh orang tua dan orang-orang lain dalam keluarga, dibantu serta diarahkan kepada pembinaan liturgi.”

Pedoman pastoral di atas hendak mengatakan bahwa keluarga, terutama orang tua, memiliki tanggung jawab penuh untuk memberikan pembinaan liturgi kepada anak-anak. Ketika pasangan suami istri mengikrarkan janji perkawinan mereka, salah satu yang disebutkan adalah bahwa mereka akan berusaha sekuat tenaga untuk mendidik anak-anak mereka seturut iman Katolik. Dengan demikian, pembinaan liturgi kepada anak-anak juga menjadi pembuktian akan janji yang mereka ucapkan itu.

Secara praktis, pembinaan liturgi kepada anak-anak itu dipaparkan demikian, “Ketika anak-anak dibaptis, orang tua mereka dengan bebas menerima tanggung jawab yang berat untuk mengajar anaknya berdoa. Mereka wajib berdoa bersama dengan anaknya setiap hari dan wajib pula membimbing mereka agar dapat berdoa sendiri. Kalau anak-anak dari kecil disiapkan demikian, dan selalu diajak menghadiri misa bersama dengan keluarga bila mereka minta, maka mereka akan lebih mudah ikut bernyanyi dan berdoa bersama dengan umat, bahkan mereka sudah akan sedikit banyak menghayati makna misteri ekaristi.” (Directorium de Missis cum Pueris art.10).

Tanggung jawab yang diemban oleh orang tua dalam membina anak-anaknya dalam berliturgi memang sangat besar. Sebagai pembina, tentu saja diharapkan bahwa para orang tua tersebut juga tidak lupa untuk membina diri mereka sendiri.Tak jarang mereka juga menghadapi berbagai persoalan-persoalan praktis dalam usaha pembinaan liturgi bagi anak-anak mereka itu.

Persoalan-persoalan yang Dihadapi

Harus diakui bahwa tidak mudah menanamkan nilai-nilai Kristiani, terutama liturgi kepada anak-anak. Pedoman Pastoral untuk Misa Anak-anak (Directorium de Missis cum Pueris) artikel yang kedua mengatakan bahwa pendidikan iman gerejawi bagi anak-anak itu sangat sukar, karena mereka belum dapat mengambil manfaat sepenuh-penuhnya dari perayaan liturgi, khusunya perayaan ekaristi.

Kesukaran-kesukaran yang dihadapi misalnya timbul dari kecenderungan anak untuk bermain-main ketika perayaan ekaristi. Ada dorongan dalam diri mereka untuk berkumpul bersama teman sebayanya sehingga membuat ribut di gereja. Belum lagi kalau yang mulai bertengkar dan menangis. Akan tetapi, itulah dunia anak-anak.

Sekali lagi, orang tua memiliki tanggung jawab untuk membina mereka. Anak-anak masih memiliki keterbatasan untuk menangkap segala sesuatu dalam kehidupan mereka. Dari sebab itu, tidak dapat dituntut bahwa mereka harus selalu memahami segala-galanya dalam liturgi. Meskipun demikian, perkembangan rohani mereka akan sangat dirugikan jika orang tua hanya diam saja. Mereka perlu bantuan dari para orang tua untuk menumbuhkan iman mereka. Hal ini mengandung konsekuensi bahwa kehidupan iman orang tua, terutama dalam berliturgi, haruslah lebih baik dari pada anak-anak mereka.

Kesadaran Orang Tua dalam Membina Anak Berliturgi

Beberapa umat rupanya telah memiliki kesadaran yang cukup baik akan tanggung jawabnya dalam membina anak berliturgi. Sebagai contoh, Bapak Markus, umat Stasi Walikukun, Paroki Santo Yosef Ngawi mengatakan bahwa ia selalu mengajak anak-anaknya yang masih kecil untuk mengikuti ekaristi. “Anak-anak selalu saya usahakan untuk duduk di samping saya. Ini adalah salah satu cara saya untuk membina mereka dalam berliturgi. Hanya saja, mereka biasanya tidak tahan lama untuk duduk diam mengikuti ekaristi. Mereka masih ingin bertemu dan bermain dengan teman-temannya.”, ujarnya.

Sedangkan Ibu L. Anjani, juga umat Stasi Walikukun, mengungkapkan bagaimana sulitnya membina anak-anaknya dalam berliturgi. “Saya juga berusaha mendidik anak-anak dalam berliturgi. Saya pernah merasakan sulitnya mendidik mereka. Pernah suatu kali saya harus memegang erat anak saya yang ingin lari-lari di dalam Gereja, karena saya tahu bahwa imam yang memimpin misa itu tak segan-segan untuk langsung menegur orang tua yang membiarkan anaknya ramai atau bermain-main di dalam Gereja.”, ungkap ibu yang juga seorang pendidik dan pemerhati kaum muda ini.

Pentingnya ekaristi memang perlu ditanamkan kepada anak-anak sejak dini. Beberapa umat sudah memiliki kesadaran ini. “Saya selalu mengatakan kepada anak-anak saya bahwa mengikuti ekaristi, terutama pada hari Minggu, adalah nomor satu. Ekaristi itu penting dan harus diutamakan. Oleh karena itu, pada hari Minggu, anak-anak harus memprioritaskan waktunya untuk ekaristi, baru kemudian untuk kegiatan yang lain.”, demikian kesaksian Ibu Ismari Teguh Prartono, umat Paroki Santo Paulus Nganjuk yang juga Ketua WKRI Cabang Nganjuk ini.

Kiranya adanya kesadaran dari para orang tua untuk membina anak-anak mereka dalam berliturgi ini sudah cukup menggembirakan. Akan tetapi, kita juga tidak boleh menutup mata akan kenyataan bahwa masih ada pula orang tua yang mengabaikan pembinaan liturgi kepada anak-anak mereka. Pepatah Latin mengatakan, nemo dat quod non habet, tak seorang pun dapat memberi apa yang tidak ia miliki. Oleh karena itu, hendaklah para orang tua juga tidak melupakan pembinaan liturgi bagi dirinya sendiri, sehingga mereka pun mampu memberikan pembinaan kepada anak-anak mereka.

Mendaki Tahun Rohani


Tak terasa sepuluh bulan hidup di Tahun Rohani hampir berlalu. Memang
ketika masih awal pembinaan hari-hari terasa panjang, sepuluh bulan
adalah waktu yang lama. Namun, ketika dijalani ternyata terasa cepat.
Aku ingat ketika naik Gunung Panderman saat kelas 2 SMA dulu. Waktu
itu sepertinya aku tak akan bisa sampai puncak mengingat jalan yang
sulit, menanjak, dan licin. Perjalananan tidak selalu dapat dilalui
dengan ringan. Tak jarang aku harus merangkak atau terpeleset. Belum
lagi dengan adanya beban yang harus kupanggul. Waktu itu kakiku juga
sempat mengalami kram sebanyak dua kali. Akan tetapi, ternyata aku
dapat mencapai puncak. Dari puncak gunung aku dapat menarik nafas
lega. Aku dapat menikmati pemandangan kerlip lampu kota dari atas
gunung. Ketika keesokan harinya aku turun dan sampai di bawah, aku
menyempatkan diri untuk memandang gunung yang telah kudaki.
Wah…ternyata tinggi juga. Kok aku bisa sampai puncak ya?


Ya, sepuluh bulan terakhir ini ibaratnya aku juga sedang dalam pendakian
“Gunung Tahun Rohani.” Ketika diberi tahu hal-hal apa saja yang
harus aku lakukan selama sepuluh bulan ini yang kupikirkan sama
dengan ketika akan naik gunung. Apakah aku mampu menyelesaikannya?
Akankah aku mencapai puncak? Ternyata yang kualami juga sama. Tak
terasa kini aku hampir tiba di puncak “Gunung Tahun Rohani”,
meski itu harus dijalani dengan melalui aneka tantangan, kerja keras
dan jatuh bangun.

Banyak
pengalaman yang aku peroleh selama di Tahun Rohani ini. Salah satu
yang berkesan adalah ketika sebelum masuk Tahun Rohani aku sering
mendengar komentar dari kakak angkatan yang mengatakan bahwa Tahun
Rohani adalah “surga” dalam pembinaan calon imam diosesan. Di
Tahun Rohani kehidupan sangat bebas, semua diserahkan pada tanggung
jawab pribadi, tidak ada laporan nilai hasil studi, dan sebagainya.
Mendengar hal itu tentu saja yang ada di benakku Tahun Rohani adalah
kesempatan untuk menarik nafas setelah memikul beban studi yang berat
di seminari menengah dan sebelum menjalani kuliah di STFT.


Ternyata tidak semua yang mereka katakan itu benar. Aku justru menghadapi
banyak hal yang sungguh berlainan dengan apa yang dikatakan oleh
kakak-kakak angkatan itu. Selama menjalani Tahun Rohani ini aku
merasakan bahwa tugas-tugas tetap banyak. Renungan mingguan, jurnal
meditasi, resensi, aneka presentasi dan tugas-tugas kuliah seakan tak
pernah berhenti. Belum lagi tugas-tugas komunitas yang juga selalu
menuntut perhatian dan tak bisa ditinggalkan.


Hal lain adalah adanya jadwal kerja setelah bangun pagi. Ini adalah hal
baru bagiku. Aku belum pernah mengalaminya selama di seminari
menengah. Awalnya aku sulit menerima hal ini. Bagiku bekerja ketika
pagi-pagi buta adalah sebuah kegilaan. Apalagi ada komentar dari
kakak-kakak angkatan yang isinya mempertanyakan kegiatan ini. Akan
tetapi, aku tetap mau mencoba merasakan seperti apa kerja setelah
bangun pagi itu. Memang awalnya terasa berat. Dinginnya Kota Malang
ini membuat aku berat untuk bangkit meninggalkan tempat tidur dan
mengambil sapu atau kain pel. Semua terasa berat…ya…naik gunung
memang berat karena jalan yang dilalui menanjak, tetapi…apa yang
berat itu seiring berjalannya waktu menjadi hal yang biasa. Menyapu
atau mengepel di pagi hari justru menjadi semacam pemanasan bagiku
agar tidak mengantuk saat berdoa pagi, selain tentu saja bahwa aku
juga menikmati rumah yang semakin bersih.


Meskipun kadang terasa berat, tetapi aku merasa menerima anugerah yang indah
dari Tuhan, yaitu kesehatan. Sejak kecil aku mudah terserang batuk
atau pilek. Kena air hujan sebentar saja aku akan demam dan jatuh
sakit. Menurut ibuku mungkin ini karena ketika bayi aku tidak terlalu
suka minum ASI (Air Susu Ibu). Aku lebih suka minum susu sapi formula
buatan pabrik. Bisa jadi hal itu berpengaruh pada kekebalan tubuhku.
Hal itu terus terjadi hingga di Seminari Menengah Garum. Aku sering
jatuh sakit. Apalagi jika harus mengerjakan banyak hal yang
menjadikan aku sangat lelah hampir pasti aku akan jatuh sakit. Hal
itu dapat dilihat dari cukup seringnya aku mendapat perawatan di
poliklinik seminari. Akan tetapi, selama hidup di Tahun Rohani ini
aku tidak pernah sakit. Entah mengapa aku sendiri juga tidak tahu.
Padahal gaya hidupku juga tidak jauh berbeda dengan sebelumnya. Apa
pun sebabnya yang pasti aku bersyukur akan semua ini. Dengan
kesehatan yang aku terima ini aku dapat menjalani hidupku dengan
baik. Kesehatan bagiku sungguh penting karena hal itu menunjang
pelayanan. Oleh sebab itu, aku sungguh berusaha menjaga kesehatanku
sehingga dapat terus melayani karena jika jatuh sakit aku justru akan
lebih banyak dilayani.


Dalam mendaki gunung tak jarang aku mengalami rasa sakit. Entah itu karena
kram atau luka-luka akibat tergores duri atau bebatuan yang tajam.
Sudah barang tentu itu adalah sesuatu yang tidak menyenangkan.
Perasaan semacam itu juga kurasakan dalam pendakian di Tahun Rohani
ini. Rasa sakit itu bisa terjadi oleh banyak hal. Misalnya konflik
dengan teman seangkatan atau mungkin adanya perasaan bahwa apa yang
kuharapkan atau kurasakan tidak dipahami atau tidak dimengerti oleh
orang lain.


Aku mengalami bahwa pendakian akan terasa lebih ringan dan menyenangkan
bila dilakukan oleh banyak orang. Selain itu, jumlah orang yang cukup
banyak tentu akan mempermudah dalam pembagian tugas, misalnya untuk
mengangkat aneka perlengkapan. Berkurangnya anggota tentu saja
berpengaruh dalam perjalanan pendakian. Hal yang sama kualami juga
dalam pendakian di Tahun Rohani ini. Baru sekitar satu bulan berjalan
sudah ada satu teman yang mengundurkan diri. Apalagi dia adalah salah
satu teman dekatku. Bulan depannya lagi ternyata ada yang
mengundurkan diri lagi. Namun, itu belum cukup. Bulan ketiga ternyata
ada orang ketiga yang juga mengundurkan diri. Aku khawatir,
jangan-jangan setiap bulan teman-temanku akan mengundurkan diri satu
per satu. Untunglah kekhawatiranku itu tidak terjadi. Perlahan aku
mulai menyesuaikan diri kembali untuk melanjutkan pendakian bersama
dengan teman-teman yang tersisa.


Tentu saja dalam pendakian aku tidak hanya menjumpai hal-hal yang
berat atau sulit saja. Aku juga menjumpai hal-hal yang menyukakan
hati. Kebersamaan dalam bentuk pemberian bantuan ketika ada yang
terpeleset dan jatuh serta tertawa bersama ketika menemukan suka cita
dan kegembiraan adalah hal-hal yang menyenangkan ketika menjalani
pendakian. Di Tahun Rohani hal itu kualami melalui kegiatan-kegiatan
bersama dengan teman-teman. Berkumpul dalam komunitas keuskupan,
unit, atau komunitas besar biasanya akan memunculkan kegembiraan.
Aneka komentar dan celoteh lucu dari teman-teman mampu meringankan
kepenatanku selama menjalani pendakian ini. Selain itu, kegembiraan
ini juga kudapatkan melalui kegiatan rekreasi bersama atau pentas
seni. Melalui itu semua aku dapat merasakan bahwa dengan kegembiraan
maka perjalanan akan terasa cepat dan ringan.


Dalam pendakian aku juga berjumpa dengan hal-hal baru. Banyak tumbuhan atau
mungkin juga aneka fauna yang belum pernah kukenal sebelumnya. Hal
yang semacam itu juga kualami di Tahun Rohani ini. Aku bertemu dengan
banyak hal yang baru. Aku bertemu dengan teman-teman yang berasal
dari berbagai macam latar belakang suku dan kebudayaan. Aku berjumpa
dengan banyak orang baru di lingkungan dan di paroki. Mungkin tidak
semuanya memberi kesan baik untukku, tetapi aku yakin bahwa dengan
hidup bersama mereka aku banyak belajar dan mereka juga memperkaya
diriku.


Pendakian memang melelahkan apalagi jika jalan terus menanjak dan terjal. Sudah
barang tentu tenaga banyak yang terkuras. Agar dapat melanjutkan
perjalanan maka diperlukan istirahat untuk sejenak menarik nafas.
Demikian halnya dengan perjalanan di Tahun Rohani. Aku juga kerap
merasa lelah akan aneka pekerjaaan dan pelayanan. Aku perlu
beristirahat dan istirahat itu kuterima dalam rupa penyegaran rohani.
Salah satu bentuk penyegaran itu adalah retret. Retret selama
menjalani Tahun Rohani kualami sebanyak dua kali. Retret pertama
kujalani di Ngadireso bersama para suster Putri karmel, dan yang
kedua di Karang Widoro bersama Romo B. Hudiono, Pr. Dalam retret aku
menerima hal-hal baru dalam hidupku. Relasi dengan Tuhan juga semakin
kurasakan. Semangat dalam hidup rohani yang mulai menurun
dibangkitkan kembali. Intinya retret memberi kesempatan bagiku untuk
mengisi tenaga sehingga memiliki cukup kekuatan untuk melanjutkan
pendakian.


Kini puncak “Gunung Tahun Rohani” sudah di depan mata. Akan tetapi,
aku sadar bahwa perjalanan panggilanku ini bukan hanya pendakian
sebuah gunung melainkan perjalanan melintasi suatu pegunungan. Banyak
gunung yang harus kudaki. Setelah mendaki “Gunung Seminari
Menengah”, kini aku sudah tiba di ambang puncak “Gunung Tahun
Rohani”. Akan tetapi, masih ada gunung-gunung lain yang lebih
tinggi berada di hadapanku. Gunung-gunung itu tidak untuk
ditaklukkan, tetapi perjalanan melintasi “Pegunungan Panggilan”
merupakan suatu kehidupan. Aku tidak mau menaklukkan kehidupanku,
tetapi aku mau menghidupi kehidupanku. Semoga Ia yang menyerahkan
hidup-Nya bagiku dan memanggil aku senantiasa menyertai perjalanan
hidupku.