Rabu, 10 Maret 2010

BERPIHAK KEPADA KAUM MISKIN (Belajar dari Dokumen Ajaran Sosial Gereja: Ensiklik Solicitudo Rei Socialis artikel 42)


Setiap manusia di dunia ini memiliki hak untuk hidup secara layak. Di samping itu, setiap manusia juga berhak untuk mengusahakan hidupnya sedemikian rupa sehingga kebutuhan hidupnya terpenuhi. Akan tetapi, pada kenyataannya masih banyak sekali orang-orang yang hidup menderita. Manusia-manusia yang lemah dan tak berdaya, terutama dalam bidang ekonomi.
Realitas semacam itu juga kita jumpai di negeri ini. Persoalan mengenai kemiskinan seolah tak pernah berhenti dibicarakan. Jika kita menyusuri jalan di kota-kota besar, kita memang akan menjumpai bangunan-bangunan megah, mobil-mobil mewah dan pusat-pusat perbelanjaan yang menawarkan hal-hal yang indah. Akan tetapi, dibalik segala kemegahan, kemewahan dan keindahan itu, kita juga akan menjumpai orang-orang yang terpinggirkan. Mereka adalah orang-orang miskin yang tinggal dalam gubug sederhana, di pinggir rel kereta api dan semacamnya. Tak hanya itu, sangat mudah sekali menemukan anak-anak muda usia sekolah, bahkan anak kecil, berpanas-panas di pinggir jalan menanti belas kasihan orang-orang berpunya. Mereka bekerja keras sementara teman-teman seusia mereka yang adalah anak orang yang lebih beruntung sedang menikmati pendidikan di sekolah-sekolah mahal.
Fenomena kemiskinan tak hanya dijumpai di kota-kota besar. Di pedesaan yang kerap digambarkan dengan kesuburan, ketentraman, dan kekayaan alam rupanya tak luput dari yang namanya kemiskinan. Sudah sering kali telinga kita mendengar berita kelaparan dan gizi buruk yang terjadi di Yahukimo. Juga kekeringan yang melanda masyarakat Gunung Kidul yang membuat mereka kesulitan pangan. Mungkin masih ada di antara kita yang menganut paham: makan tidak makan asal kumpul. Namun, bukankah tidak makan itu juga merupakan salah satu indikasi kemiskinan?
Semua realitas itu terjadi di Indonesia. Negeri yang sering digambarkan sebagai tanah yang subur dan memiliki kekayaan alam luar biasa. Sungguh ironis melihat semboyan gemah ripah loh jinawi, tata tentrem karta raharja terwujud dalam negeri yang perekonomiannya porak poranda dan selalu berkutat dengan pesoalan kemiskinan.
Persoalan kemiskinan tentu saja tidak hanya terjadi di Indonesia dan pada saat ini saja. Sudah barang tentu persoalan ini juga dialami di negara-negara lain sejak masa lampau. Keprihatinan akan persoalan kemiskinan ini rupanya juga menjadi keprihatinan Gereja. Gereja secara jelas menyatakan keberpihakannya kepada kaum miskin (option for the poor/optio praeferentialis pro pauperibus).
Salah satu bentuk keberpihakan Gereja kepada kaum miskin ini ditunjukkan dalam salah satu ensiklik Paus Yohanes Paulus II yang terbit tahun 1987, yaitu Solicitudo Rei Socialis. Secara khusus, persoalan mengenai keberpihakan Gereja terhadap kaum miskin ini tercantum salah satunya dalam Solicitudo Rei Socialis artikel 42.

Solicitudo Rei Socialis
Pada tanggal 30 Desember 1987, Paus Yohanes Paulus II mengeluarkan ensiklik Solicitudo Rei Socialis. Ensiklik ini merupakan ensiklik kedua yang ditulisnya berkaitan dengan Ajaran Sosial Gereja. Yang menjadi tema umum dari ensiklik ini adalah soal keprihatinan sosial Gereja. Dikatakan bahwa ensiklik ini ditujukan kepada para uskup, imam, tarekat-tarekat hidup bakti, para putera-puteri Gereja, dan yang beritikad baik, pada ulang tahun kedua puluh ensiklik Populorum Progressio.
Sebagai suatu peringatan dua puluh tahun diterbitkannya ensiklik Populorum Progressio oleh Paus Paulus VI, maka apa yang tercantum dalam ensiklik Solicitudo Rei Socialis ini tentu saja memiliki kaitan dengan ensiklik Populorum Progressio. Dalam ensiklik Solicitudo Rei Socialis, Paus Yohanes Paulus II memperluas paham tentang perkembangan yang benar yang telah dimulai oleh Paus Paulus VI dalam Populorum Progressio. Menurut Paus Paulus VI, perkembangan itu mencakup hak-hak asasi manusia, nilai-nilai spiritual, dan oportunitas untuk bertumbuh tanpa disubordinasikan pada indikator-indikator ekonomi. Oleh Paus Yohanes Paulus II, refleksi Paus Paulus VI tersebut diperluas dengan menambahkan sikap respek pada alam kodrati dan daya tahan lingkungan (Kristiyanto, 2003:181).
Melalui ensiklik Solicitudo Rei Socialis ini Paus Yohanes Paulus II memiliki dua tujuan atau sasaran utama. Pertama, ensiklik ini merupakan suatu kenangan atas dokumen dan ajaran Paus Paulus VI dalam Populorum Progressio. Sedangkan tujuan atau sasaran yang kedua adalah mengafirmasikan kelanjutan Ajaran Sosial Gereja sekaligus menjamin kebaruannya, mengingat bahwa doktrin dan ajaran itu perlu untuk senantiasa disesuaikan dengan kondisi zaman dan peristiwa-peristiwa yang terus menerus berubah.
Secara umum dapat dikatakan bahwa beberapa tema utama yang diangkat oleh ensiklik Solicitudo Rei Socialis ini antara lain mengenai interdependensi dan dimensi mondial masalah sosial dewasa ini; kompleksitas konsep perkembangan, yang di dalamnya diintroduksi sebagai kategori etis yang sangat hakiki dari solidaritas; serta alasan-alasan etis-religius mengapa Gereja berurusan dengan masalah-masalah sosial (bdk. Kristiyanto, 2003:182-183).
Dengan kata lain, melalui ensiklik Solicitudo Rei Socialis ini, Paus Yohanes Paulus II merefleksikan keadaan buruk ekonomi global di tahun 1980-an dan dampaknya yang merugikan jutaan orang, baik di negara yang sedang berkembang maupun di negara maju. Paus merujuk pada dimensi moral perkembangan, sambil menyebut kendala perkembangan sebagai “struktur-struktur dosa” dari mana semua orang dipanggil kepada pertobatan dan kesetiakawanan demi menjadikan kehidupan bangsa-bangsa lebih manusiawi (Sekretariat Justice and Peace dan Komisi PSE KWI).

Pemahaman tentang Solicitudo Rei Socialis Artikel 42
Secara khusus, tulisan ini memang hendak melihat keberpihakan Gereja terhadap kaum miskin dalam ensiklik Solicitudo Rei Socialis artikel 42. Oleh karena itu, pada bagian ini akan ditunjukkan isi teks ensiklik Solicitudo Rei Socialis artikel 42 itu secara apa adanya dalam tiap paragraf beserta dengan pemahaman atas isi teks yang bersangkutan. Pemahaman dilakukan dalam tiap paragraf mengingat teks dokumen ini terdiri atas lima paragraf yang tentu saja masing-masing memiliki penekanannya sendiri.

a. Paragraf Pertama
Sekarang ini lebih dari pada di masa lampau ajaran sosial Gereja harus terbuka bagi perspektif internasional seturut haluan Konsili Vatikan Kedua, ensiklik-ensiklik terakhir, dan khususnya selaras dengan ensiklik yang sedang kita kenangkan. Oleh karena itu, bukannya berlebihan mengkaji ulang dan makin menjelaskan dalam terang itu tema-tema dan pedoman-pedoman khas yang diuraikan oleh Kewenangan Mengajar Gereja beberapa tahun terakhir ini.

Ajaran Sosial Gereja semakin hari semakin dituntut untuk terbuka dalam menghadapi persoalan internasional. Hal itu pulalah yang diserukan oleh Konsili Vatikan II, bahwa Gereja harus senantiasa terbuka pada aneka persoalan dunia masa kini. Selain itu, di sini juga ditegaskan kembali salah satu tujuan penulisan ensiklik Solicitudo Rei Socialis ini, yakni untuk mengenangkan ensiklik terdahulu, yaitu Populorum Progressio. Oleh karena itu, tak heran bahwa ensiklik Solicitudo Rei Socialis ini mempelajari kembali dokumen terdahulu tersebut dan kemudian memperdalam kembali ajaran yang telah ada untuk digunakan sebagai jawaban atas persoalan-persoalan yang dihadapi oleh dunia dewasa ini.

b. Paragraf Kedua
Di sini kami ingin mengangkat salah satu tema, yakni: pilihan atau sikap mengutamakan kaum miskin. Yang dimaksudkan: pilihan atau bentuk khusus prioritas dalam mengamalkan cinta kasih Kristiani. Seluruh Tradisi Gereja memberi kesaksian tentang itu. Pilihan atau sikap itu mewarnai kehidupan setiap orang Kristen, sejauh ia berusaha meneladan kehidupan Kristus, tetapi diterapkan juga pada pokok-pokok tanggung jawab sosial kita, dan karena itu pada cara hidup kita, serta pada keputusan-keputusan sewajarnya yang perlu diambil mengenai hak pemilikan dan penggunaan harta benda.

Salah satu tema yang diangkat di sini adalah keberpihakan Gereja terhadap kaum miskin (option for the poor/optio praeferentialis pro pauperibus). Keberpihakan di sini berarti suatu prioritas dalam mengamalkan cinta kasih Kristiani. Dengan demikian, yang menjadi prioritas bagi Gereja dalam mengamalkan cinta kasih Kristiani adalah kaum miskin itu sendiri.
Rupanya pilihan untuk berpihak kepada kaum miskin ini telah terjadi sejak lama. Artinya, bahwa Tradisi Gereja juga mengungkapkan hal itu. Bahwa Gereja berpihak kepada kaum miskin itu hendaknya juga terwujud dalam diri para pengikut Kristus. Kristus juga berpihak kepada kaum miskin, maka sebagai pengikutnya, sudah selayaknya jika orang Kristen berusaha meneladan hidup Kristus. Hal itu tentu saja perlu ditampakkan dalam kehidupan sehari-hari, misalnya pada cara hidup dan pengelolaan kekayaan.

c. Paragraf Ketiga
Lagi pula mengingat, bahwa dewasa ini masalah sosial meluas meliputi seluruh dunia, cinta kasih yang mengutamakan kaum miskin itu, begitu pula keputusan-keputusan yang diilhamkannya kepada kita, mau tak mau harus merangkul massa tak terbilang mereka yang lapar, serba kekurangan, tuna wisma, tuna pelayanan kesehatan, dan terutama tanpa harapan akan masa depan yang lebih cerah. Mustahil orang tidak memperhitungkan kenyataan-kenyataan itu. Mengabaikannya berarti menjadi seperti “si kaya” yang pura-pura tidak tahu menahu tentang pengemis Lasarus yang terkapar di dekat pintu (bdk. Luk. 16:19-31).

Seiring berkembangnya peradaban manusia, rupanya semakin berkembang pula persoalan-persoalan hidup yang dialami oleh manusia itu sendiri. Persoalan-persoalan itu terutama adalah persoalan sosial yang universal. Saat ini semakin banyak saja jenis-jenis persoalan sosial manusia itu. Beberapa persoalan sosial itu misalnya kelaparan dan kemiskinan. Selain itu, semakin banyak pula orang yang tidak memiliki tempat tinggal, tidak dapat memperoleh pelayanan kesehatan karena memang tidak memiliki daya untuk itu, terlebih lagi (terutama bagi generasi muda) tiadanya masa depan yang jelas dan cerah dalam hidupnya.
Terhadap kenyataan itu, Gereja tidak boleh dan tidak dapat tinggal diam. Gereja terpanggil untuk merangkul kaum miskin itu dengan penuh cinta. Realitas kemiskinan itu ada di depan mata. Oleh karena itu, suatu sikap dan tindakan yang mendiamkan, bahkan mengabaikan kenyataan tersebut jelas merupakan suatu sikap dan tindakan yang tidak dapat dimengerti. Sikap semacam itu jelas akan membawa siapa saja yang melihat dan melihat kenyataan itu ke dalam “penderitaan” seperti yang dialami oleh “si kaya” yang mendiamkan Lasarus dalam Luk 16:19-31.


d. Paragraf Keempat
Hidup kita sehari-hari, begitu pula keputusan-keputusan kita di bidang politik dan ekonomi, harus diwarnai oleh kenyataan-kenyataan itu. Begitu pula para pemimpin bangsa-bangsa dan para ketua lembaga-lembaga internasional, sementara selalu wajib mengindahkan dimensi manusiawi sejati sebagai prioritas dalam rencana-rencana pengembangan mereka, jangan lupa memberi perhatian utama kepada gejala kemiskinan yang makin menjadi-jadi. Sungguh menyedihkan, bahwa kaum miskin tidak berkurang jumlahnya, justru makin banyak, bukan saja di negeri-negeri yang belum begitu maju, melainkan juga -dan batu sandungan ini agaknya tak kurang beratnya- di negeri-negeri yang sudah lebih maju.

Kaum miskin tidak berkurang jumlahnya, justru semakin hari semakin bertambah banyak saja. Fenomena ini tidak hanya terjadi di negara-negara yang sedang berkembang, tetapi rupanya juga terjadi di negara-negara yang sudah maju dan dikatakan mapan perekonomiannya. Tentu saja kenyataan ini perlu mendapatkan perhatian.
Diserukan kepada para pemimpin bangsa dan para pimpinan lembaga internasional untuk juga memerhatikan persoalan kemiskinan yang semakin runyam dari waktu ke waktu. Para pemimpin dunia tidak cukup hanya memikirkan perkembangan dan kemajuan peradaban manusia saja. Mereka juga harus memikirkan orang-orang miskin yang tergilas oleh kemajuan peradaban itu sendiri. Oleh karena itu, hendaknya dalam hidup sehari-hari setiap manusia juga senantiasa ingat kepada penderitaan saudaranya yang miskin. Dengan demikian, setiap kebijakan politik maupun ekonomi juga berpihak kepada mereka yang miskin itu.

e. Paragraf Kelima
Perlulah ditegaskan sekali lagi asas karakteristik ajaran sosial Kristiani: Harta benda dunia ini pada mulanya dimaksudkan bagi semua orang. Hak atas milik perorangan memang berlaku dan perlu juga, tetapi tidak menghapus prinsip itu. Kenyataannya milik perorangan itu terikat pada “kewajiban sosial”; artinya: pada hakikatnya mempunyai fungsi sosial justru berdasarkan prinsip bahwa harta benda diperuntukkan bagi semua orang. Begitu pula dalam keprihatinan terhadap kaum miskin itu jangan dilupakan bentuk khas kemiskinan, yakni: bila orang dirampas hak-hak asasi manusiawinya, khususnya hak atas kebebasan beragama dan hak atas kebebasan berprakarsa di bidang ekonomi.

Pada dasarnya ajaran sosial Kristiani mengakui hak milik perorangan. Akan tetapi, yang perlu mendapat tekanan di sini adalah karakteristik ajaran sosial Kristiani yang mengatakan bahwa harta benda dunia ini pada mulanya dimaksudkan bagi semua orang. Dengan kata lain, apa yang menjadi milik pribadi itu sebenarnya juga terikat dengan kewajiban sosial. Setiap orang memiliki hak untuk memiliki harta benda.
Salah satu bentuk kemiskinan di sini adalah hilangnya hak. Hal ini perlu mendapat perhatian mana kala ada orang yang dirampas hak asasinya, terutama hak untuk bebas beragama dan mengusahakan kehidupan yang layak. Oleh karena itu, mereka yang dilanggar haknya termasuk golongan kaum miskin. Kepada mereka inilah Gereja juga menaruh perhatian.

Analisis Terhadap Solicitudo Rei Socialis Artikel 42
Pertama-tama haruslah dipahami bahwa Gereja hendak berkecimpung dalam persoalan universal manusia. Oleh karena itu, keprihatinan-keprihatinan Gereja yang disampaikan dalam Solicitudo Rei Socialis, terutama pada artikel 42 ini merupakan persoalan-persoalan yang bersifat mondial. Sebagai suatu kenangan terhadap dokumen sebelumnya, yaitu Populorum Progressio, tentu saja yang menjadi keprihatinan sosial adalah persoalan dengan titik tolak yang sama. Akan tetapi, tentunya persoalan itu juga berkembang seturut keadaan zaman. Oleh karena itu, apa yang disampaikan terlebih dahulu dalam Populorum Progressio mendapat terang baru dalam ensiklik ini untuk menjawab persoalan-persoalan yang muncul dalam realitas yang baru pula. Dengan kata lain, ensiklik Solicitudo Rei Socialis ini memang bukan merupakan suatu dokumen yang sungguh secara radikal revolusioner bagi ajaran sosial Gereja.
Dalam ensiklik Solicitudo Rei Socialis artikel 42 ini secara gamblang Gereja menyatakan keberpihakannya kepada kaum miskin. Gereja mengambil pilihan atau sikap mengutamakan kaum miskin. Pilihan di sini berarti suatu prioritas. Gereja mau memprioritaskan kaum miskin sebagai wujud pengamalan cinta kasih Kristianinya. Dikatakan bahwa seluruh Tradisi Gereja memberi kesaksian tentang itu.
Sebelum melihat bahwa Gereja memang berpihak kepada kaum miskin, tentu saja perlu untuk melihat inspirator Gereja dalam kehidupan sosial, yaitu Yesus Kristus sendiri. Pada zaman Yesus tentu juga sudah ada orang miskin. Yesus sendiri juga hidup dalam suatu sistem pemerintahan yang memiskinkan. Penduduk desa (orang Yahudi) biasanya mengandalkan pekerjaan menggarap tanah. Pada mulanya mereka mungkin adalah pemilik tanah, tetapi politik yang dianut oleh pemerintah penjajah adalah bahwa tanah yang direbut dengan pedang menjadi milik pemenang. Akibatnya banyak orang yang kehilangan tanah. Belum lagi, mereka ini masih dibebani pajak (Suharyo, 1998:43). Ada dua macam pajak yang harus dibayar oleh orang Yahudi. Pertama, pajak yang diwajibkan kepada mereka sebagai orang Yahudi, yaitu pajak untuk Bait Allah dan para imam. Kedua, mereka harus juga membayar pajak kepada pemerintah penjajah. Belum lagi jika ada pungutan-pungutan liar lainnya (Bdk. Suharyo, 1998:46).
Singkatnya, tata sosial dan ekonomi yang terbangun atas dasar sistem politik ini membuat banyak orang menjadi miskin. Orang miskin itu antara lain para pengemis yang tak dapat bekerja karena cacat, yatim piatu dan janda, dan sebagainya. Penderitaan mereka ini diperparah oleh adanya suatu pandangan bahwa apa yang terjadi dalam diri mereka ini merupakan suatu hukuman dari Allah. Dalam hal ini, Yesus tidak ikut-ikutan menuding orang-orang malang itu sebagai orang yang dihukum oleh Allah. Sebaliknya, Ia justru mewartakan kerahiman Allah. Allah yang berkuasa, yang turun tangan, akan menyatakan diri kepada orang-orang yang malang, yang miskin, lapar, dan menangis. Apa yang dilakukan oleh Yesus ini berarti pembebasan menyeluruh dari penindasan kuasa kejahatan (Bdk. Suharyo, 1998:49).
Ensiklik Solicitudo Rei Socialis artikel 42 menyerukan kepada orang Kristen agar sikap berpihak kepada kaum miskin ini mewarnai kehidupan mereka. Hal ini tentu saja juga mengandung ajakan untuk meneladan apa yang telah diajarkan dan dilakukan oleh Yesus Kristus itu sendiri. Di samping itu, keberpihakan kepada orang Kristen itu perlu pula diwujudkan dalam kehidupan sosial sehari-hari. Manusia hidup berdampingan dengan orang lain, karenanya perlu sikap toleran dalam gaya dan cara hidup, terutama dalam mengelola kekayaan.
Persoalan sosial semakin hari semakin bertambah banyak dan meluas di seluruh dunia. Kenyataan ini haruslah diimbangi dengan meluasnya cinta kasih yang mengutamakan kaum miskin itu sendiri. Keadaan masyarakat miskin pada zaman Yesus juga masih terasa hingga saat ini, bahkan mungkin bertambah kompleks jenisnya. Banyak orang yang lapar, tak punya rumah, tak mampu membiayai keperluan kesehatan dan pendidikan, dan sebagainya. Persoalan ini semakin serius mana kala yang mengalami itu semua adalah generasi muda. Mereka yang seharusnya mewarisi dunia ini harus hidup dalam kenyataan bahwa mereka tak punya masa depan. Melihat kenyataan seperti ini, tentu saja Gereja tidak dapat berpura-pura tidak tahu dan mendiamkan semuanya ini terus terjadi.
Solicitudo Rei Socialis artikel 42 mengingatkan bahwa tak jarang kemiskinan itu bersumber dari kebijakan-kebijakan yang tidak memihak rakyat, terutama mereka yang lemah. Oleh karena itu, perlulah bagi para pemimpin dunia untuk memerhatikan hal ini. Dalam mengupayakan kebaikan manusia, kiranya perlu untuk senantiasa mengikutsertakan perjuangan atas kemiskinan yang semakin parah di berbagai belahan dunia. Sungguh ironis bahwa di tengah perkembangan ilmu pengetahuan, teknologi, dan peradaban manusia, angka kemiskinan juga ikut bertambah.
Rupanya Solicitudo Rei Socialis artikel 42 perlu pula menegaskan sekali lagi asas karakteristik ajaran sosial Kristiani, yaitu bahwa sejak semula harta benda itu dimaksudkan untuk semua orang. Ini bukan berarti menyangkal kepemilikan pribadi. Akan tetapi, perlulah diingat bahwa apa yang menjadi milik pribadi perlu pula digunakan untuk mewujudkan kebaikan bersama.
Berkaitan dengan keprihatinan terhadap kaum miskin, perlu pula diingat bahwa kemiskinan tak hanya berarti mereka yang kekurangan harta benda ekonomis, tetapi juga mereka yang kehilangan haknya. Mereka itu termasuk yang dilanggar haknya untuk bebas beragama dan kebebasan untuk mengusahakan kehidupan yang layak. Orang yang kehilangan hak asasinya berarti orang yang dicuri dan dirongrong martabatnya. Kepada mereka inilah Gereja berpihak.

Aktualitas dan Relevansi Solicitudo Rei Socialis Artikel 42
Seperti telah diungkapkan di bagian awal tulisan ini bahwa ensiklik Solicitudo Rei Socialis terbit pada tahun 1987. Ini berarti bahwa tahun ini ensiklik ini berusia 23 tahun. Pertanyaannya, masih aktualkah ajaran untuk berpihak pada orang miskin ini pada masa kini, terutama di Indonesia? Apa relevansinya?
Untuk menjawab pertanyaan tersebut haruslah kembali kepada kenyataan bahwa Gereja Indonesia sebagai suatu kesatuan dengan Gereja universal hadir secara faktual di negara Indonesia. Oleh karena itu, Gereja Indonesia juga turut merasakan duka, harapan, dan kecemasan bangsa Indonesia. Dengan demikian, ketika Gereja menyerukan keberpihakannya kepada kaum miskin, maka Gereja Indonesia harus pula menanggapinya dalam konteks manusia di sekitarnya.
Indonesia sebagai sebuah negara berkembang tentu saja masih juga berhadapan dengan persoalan kemiskinan. Kesenjangan ekonomi dan kemiskinan masih merupakan problem bangsa Indonesia. Angka pengangguran pada tahun 2009 sekitar 8,1%; sedangkan angka kemiskinan 14,14% atau 32,5 juta dari total penduduk Indonesia (www.bappenas.go.id). Kita tidak tahu apakah data itu memang nyata benar. Bisa jadi angka kemiskinan di bawah itu, tetapi sangat mungkin lebih dari itu.
Data lain mengatakan bahwa pada setiap 100 penduduk Indonesia terdapat 15 orang miskin atau secara total ada 35.000.000 penduduk miskin menurut perhitungan Badan Pusat Statistik tahun 2008. Namun, sejumlah politisi, lembaga swadaya masyarakat dan bahkan peneliti memperkirakan jumlah penduduk miskin di Indonesia jauh lebih besar dibandingkan angka resmi yang dikeluarkan pemerintah. Asumsi mereka adalah data Badan Pusat Statistik itu diambil sebelum subsidi bahan bakar minyak dicabut sehingga dampak kenaikan harga bahan bakar tersebut belum terekam dalam survei BPS (www.bbc.co.uk). Sekali lagi, soal angka di sini tidak menjadi sangat penting, yang penting adalah bahwa kemiskinan itu masih ada di negeri ini.
Fenomena keberadaan kemiskinan di negeri ini seolah memang mau ditunjukkan oleh pemerintah. Hal ini terutama tampak dalam program Bantuan Langsung Tunai. Melalui program itu dapat dilihat betapa kemiskinan menjadi persoalan yang sungguh serius di negeri ini. Betapa mengenaskan melihat kaum miskin berdesak-desakan mengantre jatah uang tunai dari pemerintah. Hal yang tak kalah mengenaskan ketika melihat sekian banyak orang miskin berjejalan dan berebutan menerima lembaran Rp 20.000,- di kala Idul Fitri dan sekerat daging pada Idul Adha. Ironisnya, di bidang kehidupan yang lain, tetapi masih di Indonesia, uang trilyunan rupiah berputar pada orang-orang tertentu saja.
Kenyataan-kenyataan seperti itulah yang terjadi di Indonesia. Akan tetapi, tentu saja tak hanya di Indonesia. Federasi Para Uskup Asia (FABC) dalam sidang paripurna yang pertama di Taipei pada tahun 1974 telah menetapkan perlunya dialog, terutama dengan kaum miskin (Bdk. Soetoprawiro, 2003:132-133). Hal ini menjadi penting mengingat sebagian terbesar rakyat Asia ialah kaum miskin. Kemiskinan itu terutama karena tak adanya kemungkinan mendapat bekal dan sumber material yang mereka butuhkan untuk hidup secara manusiawi.
Dialog dengan kaum miskin itu merupakan suatu dialog kehidupan. Dalam dialog ini terangkum pengalaman dan pengertian yang sesungguhnya akan kemiskinan, pemiskinan, dan penindasan. Dialog ini menuntut agar Gereja bekerja bukan sekadar bagi mereka yang miskin itu (pro pauperibus), melainkan pengalaman bersama mereka (cum pauperibus) dan mewujudkan keadilan sosial.
Gereja sejak awal memang telah menyatakan pilihannya kepada kaum miskin. Ensiklik Solicitudo Rei Socialis artikel 42 juga menyerukannya kembali. Akan tetapi, Ajaran Sosial Gereja bukan hanya untuk diperdengarkan, diajarkan dan dibacakan terus menerus, melainkan perlu ditanggapi. Hal ini tentu juga menjadi konsekuensi bagi Gereja Indonesia. Kenyataan bahwa semakin hari kaum miskin semakin meluas dan bertambah jumlahnya menuntut Gereja untuk juga senantiasa meluaskan cinta kasihnya sehingga dapat merangkul mereka semua.


Oleh: Fr. Antonius Yanuardi HW

Jumat, 13 November 2009

Merayakan Natal Sebagai Calon Imam

Aku masih ingat dengan baik bagaimana ketika aku masih kecil merayakan Natal bersama keluarga di rumah. Beberapa minggu sebelum Natal aku merasakan bagaimana keluarga kami begitu sibuk. Bapak sibuk menyiapkan Gereja, Ibu harus ikut latihan koor, sedangkan aku dan adik harus ikut latihan-latihan bersama anak-anak Sekolah Minggu di Gereja. Kemudian, ketika malam Natal kami bersama-sama sekeluarga berangkat ke Gereja dan merayakan Hari Raya Kelahiran Tuhan itu bersama umat yang lain. Setelah perayaan Ekaristi, biasanya kami sekeluarga berkumpul dan saling mengucapkan selamat. Ahh…Natal yang begitu indah…
Kini, aku telah tujuh tahun hidup sebagai calon imam di seminari. Hidup di seminari berarti sangat jarang bertemu dengan keluarga. Hal ini berlaku pula ketika merayakan Natal. Tidak setiap Natal aku mendapat kesempatan untuk merayakannya bersama dengan keluarga di rumah. Salah satunya terjadi empat tahun yang lalu.
Waktu itu aku masih duduk di Kelas IV Seminari Menengah Garum dan menjalani pastoral di Stasi Parang, Paroki St. Petrus-Paulus Wlingi, Blitar. Stasi itu berada sekitar 20 Kilometer di sebelah utara Wlingi. Stasi itu terletak di atas sebuah bukit kecil yang ditumbuhi pohon pinus. Udaranya sejuk dan jauh dari hangar binger kendaraan bermotor dan kendaraan bermotor.
Aku sadar bahwa sebagai calon imam yang bertugas pastoral aku harus menemani umat untuk merayakan kelahiran Sang Juru Selamat. Ya…inilah untuk pertama kalinya dalam hidupku, aku merayakan Natal tanpa kehadiran keluargaku. Tidak ada bapak, ibu, dan adik-adikku. Kiranya mereka juga merasakan hal yang sama. Natal tanpa kehadiran anggota keluarga yang lengkap.
Meskipun demikian aku menemukan hal-hal baru dalam hidupku. Aku menemukan keheningan. Keheningan itu memberikan aku kesempatan untuk sungguh menimati kudusnya malam kelahiran Tuhan. Keheningan itu belum pernah kutemukan pada Natal yang telah berlalu dalam hidupku. Natal yang biasanya penuh dengan kemegahan, kemewahan, dan kemeriahan.
Dalam keheningan di stasi itu aku yang sedang tanpa keluarga justru menemukan keluarga baru. Keluarga baru itu adalah keluarga kudus. Inilah hal yang selama ini justru tidak aku sadari. Inilah Natal. Saat itu pula aku merasa tinggal bersama keluarga kudus itu. Tinggal dalam suka cita sejati. Suka cita dalam kebersahajaan karena kelahiran anggota yang baru, yaitu Yesus sendiri.
Peristiwa Natal memang menjadi kesempatan yang baik untuk berrefleksi. Aku dapat merasakan bagaimana Allah Bapa merelakan Putera-Nya turun ke dunia membawa damai bagi umat manusia. Inilah wujud cinta yang luar biasa. Cinta itu kemudian berlanjut melalui kerelaan dan pengorbanan Sang Putera dengan rela menjadi sama manusia dan mengalami penderitaan hingga wafat di Salib.
Aku ingat bahwa waktu itu aku berangkat dari seminari dengan membawa ransel besar dan kardus berisi hadiah-hadiah Natal pemberian donatur. Nantinya hadiah-hadiah itu akan kubagikan kepada anak-anak Sekolah Minggu yang jumlahnya tak sampai lima belas orang itu.
Cuaca Wlingi yang begitu panas rupanya menguras energiku. Oleh karena itu, aku memutuskan untuk naik ojek menuju Parang. Ternyata, semalam turun hujan di Parang sehingga jalan yang belum tersentuh aspal itu becek dan licin. Lagi pula, jalan itu menanjak. Aku khawatir kalau jika ojek ini tak mampu mengantar aku sampai ke rumah umat yang berada di atas bukit itu. Benar saja, di tengah perjalanan tiba-tiba motor selip dan nyaris masuk jurang. Syukur kepada Allah, aku masih selamat.
Saat itu juga aku putuskan untuk melanjutkan perjalanan dengan berjalan kaki. Akhirnya sampailah aku ke rumah umat tempat aku menginap dengan bermandi keringat. Meski demikian, aku merasa bahagia masih diberi kesempatan untuk merayakan Natal bersama umat dan berbagi suka cita dengan anak-anak sekolah Minggu. Namun, lebih dari itu semua, aku merasa sungguh bahagia karena boleh mencicipi sedikit saja bentuk pengorbanan seperti yang telah dilakukan oleh Yesus.
Ya…di tempat ini aku memang merayakan Natal dengan orang-orang sederhana. Tidak semua bisa membaca dan menulis. Dahulu orang tua mereka tak mampu menyekolahkan mereka. Sedangkan anak-anak mereka lebih beruntung karena masih sempat sekolah meski hanya sampai SD saja. Meski sederhana mereka ternyata juga punya kekayaan. Kekayaan yang sangat jarang ditemui di tempat lain. Mereka merayakan Natal dengan syukuran bersama pemeluk agama lain. Dari kebersamaan itu tampaklah perdamaian. Itu semua justru terlihat dalam kesederhanaan. Bukankah Yesus sendiri juga lahir dalam kesederhanaan?
Akhirnya, kini Natal datang lagi. Memang aku sudah tidak bertugas di Parang lagi. Aku pun belum tahu akan merayakan Natal di mana dan bersama siapa. Akan tetapi, setiap orang, termasuk aku, akan merayakan Natal di tempat dan suasana berbeda. Namun, Natal itu tetaplah bermakna dalam kesederhanaannya.

Kamis, 12 November 2009

Analisis Slumdog Millionaire


Pengantar
Masyarakat adalah suatu sistem sosial yang tersusun dari individu dan kelompok yang beriteraksi secara tetap dan terpola. Masyarakat dapat pula dikatakan sebagai suatu totalitas manusia di muka bumi bersama dengan kulturnya, institusinya, keahliannya, idenya, dan nilai-nilainya. Dari pengertian di atas, masyarakat dapat dipertentangkan dengan individu. Artinya, satu individu belumlah dapat dikatakan sebagai suatu masyarakat, sekalipun masyarakat itu terdiri dari individu-individu.
Setiap masyarakat tentu memiliki identitas yang khas. Identitas tersebut dapat muncul karena adanya interaksi dan sosialisasi di dalam masyarakat tersebut. Setiap masyarakat juga memiliki suatu sistem atau organisasi yang mengakomodasi hubungan antar manusia dalam masyarakat tersebut. Sistem itulah yang disebut dengan struktur sosial . Selain itu, tentu saja di dalam masyarakat itu juga terjadi dinamika. Dinamika yang merupakan suatu gerak perubahan sosial entah ke arah positif maupun sebaliknya.
Salah satu contoh dari masyarakat itu terekam dalam film Slumdog Millionaire. Film ini menampilkan sebagian keadaan masyarakat India yang tersaji melalui liku-liku kehidupan para tokoh yang ada. Dalam film tersebut terdapat serpihan-serpihan data dan nilai yang menggambarkan sebagian kehidupan masyarakat India, terutama mengenai struktur dan dinamika masyarakatnya. Di sini serpihan-serpihan dicoba untuk dikumpulkan.

India sebagai Latar Tempat Film Slumdog Millionaire
Melihat fenomena dan situasi masyarakat India sebagaimana digambarkan dalam setting film Slumdog Millionaire tentu publik akan dibawa pada suatu perubahan pola pikir dan kesadaran baru terhadap situasi yang sebenarnya terjadi di Negara India. Selama ini India dikenal masyarakat luas dari film-film Bollywood yang hampir selalu mengambil latar tempat yang memberi kesan bahwa India adalah suatu surga yang memiliki segala keindahan yang dirindukan semua orang. Karya seni, terlebih musik dan tari, begitu mendarah daging dan mendapat tempat yang istimewa di hati setiap penduduknya, sampai-sampai muncul ungkapan bahwa bangsa India dapat menyelesaikan segala masalahnya dengan menari dan menyanyi. Semua gambaran kemegahan dan kemewahan India dalam Bollywood mendapatkan kontrasnya dalam Slumdog Millionaire.
Latar sosio-masyarakat Slumdog Millionaire merupakan suatu interpretasi yang lebih mendekati keadaan masyarakat India yang sesungguhnya. Persoalan-persoalan kemiskinan, kekerasan akibat konflik antar agama dan kasta serta eksploitasi terhadap anak merupakan suatu persoalan yang sangat identik dengan bangsa India, dalam arti bangsa India telah sejak lama bergulat dengannya. Selain mengundang keprihatinan publik, situasi masyarakat India yang demikian juga menarik untuk menjadi materi studi tentang kemasyarakatan. Oleh karena itu, karya tulis ini merupakan suatu bentuk usaha untuk mengkajinya lebih lanjut, yakni dengan melakukan analisis terhadap dinamika dan struktur masyarakat India berdasarkan film Slumdog Millionaire.

Kompleksitas Persoalan Masyarakat India

Mencermati situasi masyarakat India sebagaimana digambarkan dalam film Slumdog Millionaire, maka dapat ditemukan kompleksitas persoalan yang ada dalam masyarakat India. Sejumlah besar masyarakat yang miskin tinggal dan memadati suatu perkampungan yang benar-benar kumuh. Bisa jadi kemiskinan penduduk dalam skala yang besar ini mengawali munculnya masalah-masalah lainnya, seperti kesenjangan sosial. Kesenjangan sosial tampak nyata dalam sekuel yang menampilkan beberapa anak kecil sedang berkejaran dengan pamong praja. Ketika berlari menyusuri gang-gang sempit di perkampungan kumuh, di ujung jalan mereka menabrak sebuah mobil milik seorang kaya. Kehadiran orang kaya bermobil itu sangat kontras dengan situasi yang terjadi di perkampungan kumuh yang miskin itu. Ada suatu kesenjangan yang tampak dalam sekuel ini.
Munculnya perkampungan kumuh yang juga merupakan tanda kemiskinan masyarakat bisa jadi muncul akibat dinamika dan pola pikir masyarakat India itu sendiri. Orang-orang India pada umumnya berkumpul di kota besar untuk mencari pekerjaan . Hal ini tentu saja mengakibatkan terjadinya ledakan penduduk. Selanjutnya dapat dipastikan munculnya berbagai persoalan, seperti lalu lintas yang tidak teratur atau kriminalitas. Selain itu, juga secara otomatis akan memunculkan pemukiman di pinggiran kota (slum) yang biasanya kumuh.
Perkampungan kumuh itu dapat dilihat dari penataannya yang tidak teratur. Selain itu, juga material bangunan yang tidak memadai dan kesadaran akan kesehatan serta kualitas fasilitas-fasilitas penunjang hidup yang rendah. Sebagai contoh adalah ditampilkannya toilet umum yang dibangun dengan material seadanya dan mungkin sangat tidak memenuhi standar kesehatan. Selain itu, ditampilkan pula suasana ruang kelas yang sangat tidak kondusif untuk belajar. Ruangannya sempit, pengap, dan dipenuhi oleh anak-anak yang sedang belajar. Bahkan ada anak yang harus duduk di lantai.
Situasi kemiskinan dan kepadatan penduduk dalam perkampungan kumuh ini tentu berdampak serius bagi masyarakatnya, terutama anak-anak. Oleh karena kemiskinan dan padatnya perumahan kumuh itu, mereka kehilangan haknya sebagai seorang anak yang sedang dalam proses perkembangan. Salah satu contoh adalah bahwa mereka kehilangan hak untuk bermain bersama dengan teman-temannya. Keterbatasan tempat bermain membuat mereka pada akhirnya kerap dikejar-kejar pamong praja.
Selain itu, kemiskinan yang terjadi dalam masyarakat India menjadikan anak-anak sebagai objek kekerasan dan menjadi semacam alat pencetak uang bagi orang-orang yang bermaksud jahat. Realitas ini tampak dalam sekuel ketika seorang laki-laki mengumpulkan banyak anak dan menjadikannya cacat sehingga menarik simpati banyak orang ketika mereka turun ke jalan-jalan untuk mengemis. Kerasnya “pendidikan” yang diterima dari lingkungan tempat tinggal mereka mau-tidak mau pasti turut andil dalam pembentukan karakter seorang anak. Ketika seorang anak dididik dan dibesarkan dalam lingkungan yang keras maka anak itu atau akan belajar menghadapi kekerasan itu atau justru dirinya sendiri akan tumbuh menjadi seorang yang kasar. Tokoh Salim mewakili produk seorang anak yang dididik dan dibesarkan dalam situasi semacam ini.
Masalah lain terkait dengan situasi masyarakat India adalah mengenai struktur masyarakatnya. Seperti yang telah diketahui publik bahwa bangsa India merupakan salah satu dari sekian bangsa yang masih menjaga adanya hirarki masyarakat yang berdasarkan kasta. Ini merupakan salah satu budaya yang tidak mudah luntur oleh modernisasi sekalipun. Isu kasta ini dapat dikatakan sebagai ide dasar dari seluruh kisah ironis dari film Slumdog Millionaire. Kecurigaan dan aneka tuduhan lengkap dengan berbagai macam siksaan dilancarkan kepada Jamal hanya karena dia adalah seorang “slumdog” yang bisa mencapai angka sangat tinggi dalam kuis Who Wants to Be a Millionaire, bahkan melebihi angka yang diperoleh “orang-orang jenius” yang pernah mengikuti kuis ini.
Memang persoalan kasta tidak secara gamblang diungkapkan dalam film tersebut, meskipun demikian kekerasan yang dialami oleh Jamal ini dapat menjadi suatu indikasi bahwa kasta telah menyunat banyak bagian dari hak-hak yang seharusnya bisa dimiliki oleh setiap manusia. Oleh karena kasta, hak untuk menjadi “jenius” seakan dimonopoli oleh kelompok kasta tertentu. Kelompok kasta yang lebih tinggi memiliki “hak paten” atas beberapa hak azasi manusia sehingga yang lebih rendah tidak akan pernah boleh memperolehnya. Inilah ironi suatu masyarakat yang strukturnya didirikan atas budaya kasta. Isu mengenai penegakkan HAM akan menemui kesulitan dalam setiap upayanya dan tentunya peluang bagi pelanggaran serta penyimpangannya akan semakin banyak mendapat celah.
Barang kali perubahan nasib yang dialami oleh Jamal dapat juga ditafsirkan sebagai suatu dinamika masyarakat India. Jamal yang semula adalah anak miskin yang tinggal di perkampungan kumuh setelah melalui suatu proses dalam hidupnya berubah menjadi pemuda kaya. Kiranya hal yang sama terjadi dalam masyarakat India itu sendiri. Misalnya ditunjukkan dalam adegan ketika Jamal bertemu dengan Salim untuk pertama kalinya setelah sekian lama. Pada saat itu pertemuan terjadi di suatu gedung bertingkat yang sedang dibangun. Juga kemudian ditampilkan panorama gedung pencakar langit yang telah menggusur perkampungan kumuh. Kiranya pemandangan itu merupakan tanda geliat kemajuan perekonomian sebagian masyarakat India.

Penutup
Slumdog Millionaire merupakan film yang berusaha menonjolkan realitas masyarakat India, khususnya Mumbay. Memang apa yang dapat terekam dalam film ini hanyalah sebagian kecil saja dari keadaan sebenarnya. Meskipun demikian, serpihan-serpihan realitas masyarakat India yang ditampilkan dalam film ini kiranya telah cukup untuk dijadikan bahan belajar mengenai dinamika dan struktur suatu masyarakat tertentu.
Melihat film Slumdog Millionaire ini barang kali akan membuka mata para pemirsanya akan kerasnya kehidupan. Anak-anak yang hidup di daerah kumuh rupanya harus berhadapan dengan kemiskinan dan kekerasan. Mereka telah kehilangan masa kecilnya yang bahagia. Mereka mungkin juga kehilangan kesempatan untuk memperoleh pendidikan serta segala fasilitas yang memadai bagi hidup mereka.
Dari keadaan tersebut dapat diajukan pertanyaan, bila mereka tumbuh dalam masyarakat yang miskin dan keras, lalu masyarakat macam apa yang akan mereka bentuk nantinya? Sangat mungkin bahwa mereka akan membentuk masyarakat yang sama pula. Akan tetapi, akan tetap ada peluang untuk suatu perubahan atau dinamika masyarakat ke arah yang positif. Sekali lagi, film Slumdog Millionaire ini turut membuka mata pemirsanya untuk peka akan realitas sosial yang terjadi di sekitarnya.

Selasa, 10 November 2009

Capek Deh…

Biasanya, pada hari libur para frater Tahun Rohani mendapat kesempatan cukup
panjang untuk jalan-jalan ke luar seminari. Kesempatan semacam itu
juga terjadi saat libur Paskah kali ini. Banyak hal yang bisa
dilakukan oleh para frater selama waktu bebas yang dimulai setelah
Misa dan sarapan hingga sore hari itu. Ada yang pergi ke
tempat-tempat rekreasi, menghabiskan waktu di toko buku, mendekam di
warung internet, mengunjungi umat di lingkungan tempat mereka
berpastoral, atau tetap tinggal di seminari dan menghabiskan waktu
dengan membaca koran, nonton televisi, membersihkan kamar atau
melakukan aneka kegiatan rekreatif lainnya.

Pada liburan Paskah ini, bersama dua frater yang lain aku memutuskan untuk mengunjungi umat di lingkungan dan mengucapkan selamat Paskah kepada mereka. Kami mulai
menyusun rencana kira-kira rumah siapa yang akan kami kunjungi. Kami
juga memperkirakan waktu yang akan kami gunakan selama kunjungan
mengingat perjalanan itu akan kami tempuh dengan berjalan kaki.

Akhirnya kami bertiga berangkat dengan penuh suka cita. Ya, jalan-jalan ke luar seminari
berarti juga bertemu dengan suasana yang membawa kesegaran baru.
Apalagi pada umumnya umat akan menyambut gembira kedatangan
frater-frater yang mereka sayangi ini.

Di bawah sinar matahari yang hangat, kami mulai berjalan menuju rumah umat. Tujuan pertama
adalah rumah ketua lingkungan tempat aku berpastoral. Perjalanan dari
Tahun Rohani menuju rumah beliau memakan waktu kira-kira 30 menit
dengan berjalan kaki. Sampai di muka pagar rumah beliau aku mulai
mengucapkan salam.

“Permisi…”

Masih belum ada jawaban.

“Permisi…”,
kuulangi lagi dengan suara lebih keras.

Guk…guk…guk…”

Ternyata yang menyahut hanya anjingnya saja. Aku menunggu sebentar dan tak lama kemudian
pintu rumah dibuka oleh pembantu sang empunya rumah.

“Cari siapa mas?”

“ Pak Basuki ada mbak?”

“Wah…Pak Basuki lagi nggak di rumah nih…lagi ikut Misa lansia di Gereja Lely. Ada pesan?”

“Eh…gini aja mbak.
Sampaikan ke Pak Basuki kalau tadi frater ke sini, terus pesannya
selamat Paskah aja…”, sahutku.

“Oh…ya mas, nanti
saya sampaikan.”, jawabnya.

Pintu rumah kembali ditutup. Kami melanjutkan perjalanan. Selanjutnya adalah rumah ketua
lingkungan tempat pastoral kawan seperjalananku. Jaraknya tidak jauh,
kira-kira 10 menit jalan kaki dari rumah yang pertama kami kunjungi.

Akhirnya sampailah kami
di rumah yang kedua. Suasana rumah ini sepi. Pagarnya tertutup,
tetapi tidak terkunci. Kami mulai mencari bel dan membunyikannya. Tak
lama kemudian muncul perempuan setengah baya membukakan pintu.

“Pak David ada?”, tanya temanku.

“Oh…Pak David sedang ke Gereja Cor Jesu membaptiskan putranya mas…saya pembantunya dan yang ada cuma saya sendiri di sini. Mas ini siapa dan ada keperluan apa?”, sahut sang pembantu.

“Saya frater dari Tahun Rohani…ya sudah kalau nanti Pak David pulang tolong sampaikan
selamat Paskah dari kami.”

Sudah dua rumah yang rencananya kami kunjungi ternyata pemiliknya sedang tidak di rumah
semua. Akhirnya kami mencari rumah umat yang kami kenal yang ada di
sekitar daerah itu, tetapi sama saja. Semua rumah terkunci rapat.
Mungkin hari libur adalah kesempatan berharga bagi mereka untuk
menghabiskan waktu di luar rumah bersama keluarga.

Oleh karena sudah kebingungan mencari rumah umat mana lagi yang akan kami kunjungi,
tiba-tiba muncul ide untuk mengunjungi rumah Bu Herman, Ekonom Tahun
Rohani. Rumah Bu Herman letaknya cukup jauh. Oleh karena itu, kami
memutuskan untuk naik mikrolet. Namun, cukup lama menunggu ternyata
tidak muncul juga mikrolet yang kami nanti.

“Jangan-jangan mikroletnya nggak lewat sini.”, kataku.

“Ah…nggak mungkin…pasti ini jalur mikroletnya.”, sanggah temanku.

Karena cukup lama menunggu, akhirnya aku mengusulkan agar menunggu mikrolet sambil
jalan dulu. Apalagi panas matahari sudah semakin menyengat. Sambil
berjalan kami masih mengharapkan kedatangan mikrolet. Akan tetapi,
mikrolet itu tak kunjung datang. Akhirnya, sampailah kami di rumah Bu
Herman tidak dengan naik mikrolet, tetapi tetap dengan berjalan kaki.
Dengan peluh bercucuran kami mencoba membuka pintu pagar depan.
Hah…ternyata pintunya terkunci. Kami mencoba memanggil Bu Herman,
tetapi tak ada jawaban. Kami melihat bahwa suasana rumah memang
sungguh sepi dan tampaknya tak ada orang di dalamnya. Akhirnya kami
bertiga terduduk lemas sambil berteduh di bawah pohon sambil meratapi
nasib. Mengapa semua orang yang ingin kami jumpai hari ini tidak ada
di rumah? Ah…betapa bodohnya kami. Mengapa tidak telepon dulu dan
membuat janji dengan mereka? Sementara kami telah berjalan
berkilo-kilo dan berjam-jam tanpa hasil.

Oleh karena tidak tahu harus berbuat apa lagi, dengan langkah gontai kami mulai berjalan
kembali ke Tahun Rohani. Namun, kali ini separuh perjalanan kembali
ke Tahun Rohani bisa dilalui dengan naik mikrolet. Sampai di Tahun
Rohani kami langsung menuju ruang makan dengan maksud mengusir dahaga
kami. Di ruang makan ternyata ada Mbak Yanti, tetangga belakang
seminari sedang ngobrol dengan beberapa frater sambil menikmati aneka
makanan kecil.

“Dari mana ter kok sampai gobyos begitu?”, tanya Mbak Yanti.

“Habis kunjungan ke rumah umat mbak…”, jawabku.

“Terus, dapat berapa rumah hari ini?”, tanyanya lagi.

“Rumahnya sih banyak, cuma nggak ada orangnya…”, sahutku.

“Oalah ter…ter…kasihan…memang kalau Paskah begini banyak umat yang
pergi. Lain kalau Natal, mereka lebih banyak di rumah. Makanya kalau
mau Paskahan itu mbok ke rumah umat yang dekat dulu…tadi
lewat depan rumahku juga nggak mau mampir. Jangankan mampir,
nengok saja juga nggak…memang gimana sih ter rasanya jalan
berjam-jam?”, ujar Mbak Yanti sambil tersenyum.

“Capek deehh…”, jawabku sambil meninggalkan ruang makan.

Hmm…mendengar apa yang dikatakan Mbak Yanti itu aku hanya terdiam. Mungkin ada benarnya juga apa yang dikatakannya. Selama ini mungkin aku terlalu sibuk dengan
aneka kegiatan di luar diriku. Aku kurang memerhatikan hal-hal yang
ada di dekatku atau bahkan di dalam diriku. Padahal aku tahu bahwa
Tahun Rohani merupakan saat yang sangat baik untuk mengolah diriku
sehingga nanti ketika tiba saatnya bagiku untuk berkarya aku sudah
siap. Sungguh suatu pengalaman sederhana, tetapi berharga bagiku.
Semoga dalam meniti jalan panggilan yang masih panjang ini aku tidak
lagi mengeluh, capek deh….

Tanggung Jawab Orang Tua dalam Pembinaan Liturgi bagi Anak-anak

Liturgi, khususnya perayaan ekaristi adalah sumber dan puncak hidup Gereja. Liturgi menjadi kekuatan bagi Gereja dalam menjalani peziarahannya. Dengan demikian, sudah layak dan sepantasnya jika liturgi haruslah sungguh-sungguh dihayati oleh seluruh anggota Gereja. Penghayatan dalam liturgi itu bukan hanya soal rajin mengikuti perayaan ekaristi, melainkan juga bagaimana menjadikan ekaristi sebagai bagian dari hidup itu sendiri.

Memang, harus diakui bahwa tidak seluruh umat mampu sungguh-sungguh memiliki penghayatan terhadap ekaristi. Apalagi bagi anak-anak. Anak-anak pada umumnya masih belum sungguh mengerti mengenai ekaristi. Mereka hanya ke gereja untuk merayakan ekaristi karena ikut orang tua. Akan tetapi, bagaimana membuat mereka mampu memahami ekaristi? Siapa yang bertanggung jawab untuk memberikan pembinaan kepada mereka?

Tanggung Jawab Orang Tua terhadap Anak dalam Liturgi

Pedoman Pastoral untuk Misa Anak-anak (Directorium de Missis cum Pueris) yang terbit pada tahun 1973 pada artikel yang ke sepuluh menyatakan bahwa “keluargalah yang memainkan peranan pertama dan terpenting dalam usaha menanamkan nilai-nilai manusiawi dan Kristen itu dalam hati anak-anak. Maka sangat perlu bahwa pendidikan Kristen yang diberikan oleh orang tua dan orang-orang lain dalam keluarga, dibantu serta diarahkan kepada pembinaan liturgi.”

Pedoman pastoral di atas hendak mengatakan bahwa keluarga, terutama orang tua, memiliki tanggung jawab penuh untuk memberikan pembinaan liturgi kepada anak-anak. Ketika pasangan suami istri mengikrarkan janji perkawinan mereka, salah satu yang disebutkan adalah bahwa mereka akan berusaha sekuat tenaga untuk mendidik anak-anak mereka seturut iman Katolik. Dengan demikian, pembinaan liturgi kepada anak-anak juga menjadi pembuktian akan janji yang mereka ucapkan itu.

Secara praktis, pembinaan liturgi kepada anak-anak itu dipaparkan demikian, “Ketika anak-anak dibaptis, orang tua mereka dengan bebas menerima tanggung jawab yang berat untuk mengajar anaknya berdoa. Mereka wajib berdoa bersama dengan anaknya setiap hari dan wajib pula membimbing mereka agar dapat berdoa sendiri. Kalau anak-anak dari kecil disiapkan demikian, dan selalu diajak menghadiri misa bersama dengan keluarga bila mereka minta, maka mereka akan lebih mudah ikut bernyanyi dan berdoa bersama dengan umat, bahkan mereka sudah akan sedikit banyak menghayati makna misteri ekaristi.” (Directorium de Missis cum Pueris art.10).

Tanggung jawab yang diemban oleh orang tua dalam membina anak-anaknya dalam berliturgi memang sangat besar. Sebagai pembina, tentu saja diharapkan bahwa para orang tua tersebut juga tidak lupa untuk membina diri mereka sendiri.Tak jarang mereka juga menghadapi berbagai persoalan-persoalan praktis dalam usaha pembinaan liturgi bagi anak-anak mereka itu.

Persoalan-persoalan yang Dihadapi

Harus diakui bahwa tidak mudah menanamkan nilai-nilai Kristiani, terutama liturgi kepada anak-anak. Pedoman Pastoral untuk Misa Anak-anak (Directorium de Missis cum Pueris) artikel yang kedua mengatakan bahwa pendidikan iman gerejawi bagi anak-anak itu sangat sukar, karena mereka belum dapat mengambil manfaat sepenuh-penuhnya dari perayaan liturgi, khusunya perayaan ekaristi.

Kesukaran-kesukaran yang dihadapi misalnya timbul dari kecenderungan anak untuk bermain-main ketika perayaan ekaristi. Ada dorongan dalam diri mereka untuk berkumpul bersama teman sebayanya sehingga membuat ribut di gereja. Belum lagi kalau yang mulai bertengkar dan menangis. Akan tetapi, itulah dunia anak-anak.

Sekali lagi, orang tua memiliki tanggung jawab untuk membina mereka. Anak-anak masih memiliki keterbatasan untuk menangkap segala sesuatu dalam kehidupan mereka. Dari sebab itu, tidak dapat dituntut bahwa mereka harus selalu memahami segala-galanya dalam liturgi. Meskipun demikian, perkembangan rohani mereka akan sangat dirugikan jika orang tua hanya diam saja. Mereka perlu bantuan dari para orang tua untuk menumbuhkan iman mereka. Hal ini mengandung konsekuensi bahwa kehidupan iman orang tua, terutama dalam berliturgi, haruslah lebih baik dari pada anak-anak mereka.

Kesadaran Orang Tua dalam Membina Anak Berliturgi

Beberapa umat rupanya telah memiliki kesadaran yang cukup baik akan tanggung jawabnya dalam membina anak berliturgi. Sebagai contoh, Bapak Markus, umat Stasi Walikukun, Paroki Santo Yosef Ngawi mengatakan bahwa ia selalu mengajak anak-anaknya yang masih kecil untuk mengikuti ekaristi. “Anak-anak selalu saya usahakan untuk duduk di samping saya. Ini adalah salah satu cara saya untuk membina mereka dalam berliturgi. Hanya saja, mereka biasanya tidak tahan lama untuk duduk diam mengikuti ekaristi. Mereka masih ingin bertemu dan bermain dengan teman-temannya.”, ujarnya.

Sedangkan Ibu L. Anjani, juga umat Stasi Walikukun, mengungkapkan bagaimana sulitnya membina anak-anaknya dalam berliturgi. “Saya juga berusaha mendidik anak-anak dalam berliturgi. Saya pernah merasakan sulitnya mendidik mereka. Pernah suatu kali saya harus memegang erat anak saya yang ingin lari-lari di dalam Gereja, karena saya tahu bahwa imam yang memimpin misa itu tak segan-segan untuk langsung menegur orang tua yang membiarkan anaknya ramai atau bermain-main di dalam Gereja.”, ungkap ibu yang juga seorang pendidik dan pemerhati kaum muda ini.

Pentingnya ekaristi memang perlu ditanamkan kepada anak-anak sejak dini. Beberapa umat sudah memiliki kesadaran ini. “Saya selalu mengatakan kepada anak-anak saya bahwa mengikuti ekaristi, terutama pada hari Minggu, adalah nomor satu. Ekaristi itu penting dan harus diutamakan. Oleh karena itu, pada hari Minggu, anak-anak harus memprioritaskan waktunya untuk ekaristi, baru kemudian untuk kegiatan yang lain.”, demikian kesaksian Ibu Ismari Teguh Prartono, umat Paroki Santo Paulus Nganjuk yang juga Ketua WKRI Cabang Nganjuk ini.

Kiranya adanya kesadaran dari para orang tua untuk membina anak-anak mereka dalam berliturgi ini sudah cukup menggembirakan. Akan tetapi, kita juga tidak boleh menutup mata akan kenyataan bahwa masih ada pula orang tua yang mengabaikan pembinaan liturgi kepada anak-anak mereka. Pepatah Latin mengatakan, nemo dat quod non habet, tak seorang pun dapat memberi apa yang tidak ia miliki. Oleh karena itu, hendaklah para orang tua juga tidak melupakan pembinaan liturgi bagi dirinya sendiri, sehingga mereka pun mampu memberikan pembinaan kepada anak-anak mereka.

Mendaki Tahun Rohani


Tak terasa sepuluh bulan hidup di Tahun Rohani hampir berlalu. Memang
ketika masih awal pembinaan hari-hari terasa panjang, sepuluh bulan
adalah waktu yang lama. Namun, ketika dijalani ternyata terasa cepat.
Aku ingat ketika naik Gunung Panderman saat kelas 2 SMA dulu. Waktu
itu sepertinya aku tak akan bisa sampai puncak mengingat jalan yang
sulit, menanjak, dan licin. Perjalananan tidak selalu dapat dilalui
dengan ringan. Tak jarang aku harus merangkak atau terpeleset. Belum
lagi dengan adanya beban yang harus kupanggul. Waktu itu kakiku juga
sempat mengalami kram sebanyak dua kali. Akan tetapi, ternyata aku
dapat mencapai puncak. Dari puncak gunung aku dapat menarik nafas
lega. Aku dapat menikmati pemandangan kerlip lampu kota dari atas
gunung. Ketika keesokan harinya aku turun dan sampai di bawah, aku
menyempatkan diri untuk memandang gunung yang telah kudaki.
Wah…ternyata tinggi juga. Kok aku bisa sampai puncak ya?


Ya, sepuluh bulan terakhir ini ibaratnya aku juga sedang dalam pendakian
“Gunung Tahun Rohani.” Ketika diberi tahu hal-hal apa saja yang
harus aku lakukan selama sepuluh bulan ini yang kupikirkan sama
dengan ketika akan naik gunung. Apakah aku mampu menyelesaikannya?
Akankah aku mencapai puncak? Ternyata yang kualami juga sama. Tak
terasa kini aku hampir tiba di puncak “Gunung Tahun Rohani”,
meski itu harus dijalani dengan melalui aneka tantangan, kerja keras
dan jatuh bangun.

Banyak
pengalaman yang aku peroleh selama di Tahun Rohani ini. Salah satu
yang berkesan adalah ketika sebelum masuk Tahun Rohani aku sering
mendengar komentar dari kakak angkatan yang mengatakan bahwa Tahun
Rohani adalah “surga” dalam pembinaan calon imam diosesan. Di
Tahun Rohani kehidupan sangat bebas, semua diserahkan pada tanggung
jawab pribadi, tidak ada laporan nilai hasil studi, dan sebagainya.
Mendengar hal itu tentu saja yang ada di benakku Tahun Rohani adalah
kesempatan untuk menarik nafas setelah memikul beban studi yang berat
di seminari menengah dan sebelum menjalani kuliah di STFT.


Ternyata tidak semua yang mereka katakan itu benar. Aku justru menghadapi
banyak hal yang sungguh berlainan dengan apa yang dikatakan oleh
kakak-kakak angkatan itu. Selama menjalani Tahun Rohani ini aku
merasakan bahwa tugas-tugas tetap banyak. Renungan mingguan, jurnal
meditasi, resensi, aneka presentasi dan tugas-tugas kuliah seakan tak
pernah berhenti. Belum lagi tugas-tugas komunitas yang juga selalu
menuntut perhatian dan tak bisa ditinggalkan.


Hal lain adalah adanya jadwal kerja setelah bangun pagi. Ini adalah hal
baru bagiku. Aku belum pernah mengalaminya selama di seminari
menengah. Awalnya aku sulit menerima hal ini. Bagiku bekerja ketika
pagi-pagi buta adalah sebuah kegilaan. Apalagi ada komentar dari
kakak-kakak angkatan yang isinya mempertanyakan kegiatan ini. Akan
tetapi, aku tetap mau mencoba merasakan seperti apa kerja setelah
bangun pagi itu. Memang awalnya terasa berat. Dinginnya Kota Malang
ini membuat aku berat untuk bangkit meninggalkan tempat tidur dan
mengambil sapu atau kain pel. Semua terasa berat…ya…naik gunung
memang berat karena jalan yang dilalui menanjak, tetapi…apa yang
berat itu seiring berjalannya waktu menjadi hal yang biasa. Menyapu
atau mengepel di pagi hari justru menjadi semacam pemanasan bagiku
agar tidak mengantuk saat berdoa pagi, selain tentu saja bahwa aku
juga menikmati rumah yang semakin bersih.


Meskipun kadang terasa berat, tetapi aku merasa menerima anugerah yang indah
dari Tuhan, yaitu kesehatan. Sejak kecil aku mudah terserang batuk
atau pilek. Kena air hujan sebentar saja aku akan demam dan jatuh
sakit. Menurut ibuku mungkin ini karena ketika bayi aku tidak terlalu
suka minum ASI (Air Susu Ibu). Aku lebih suka minum susu sapi formula
buatan pabrik. Bisa jadi hal itu berpengaruh pada kekebalan tubuhku.
Hal itu terus terjadi hingga di Seminari Menengah Garum. Aku sering
jatuh sakit. Apalagi jika harus mengerjakan banyak hal yang
menjadikan aku sangat lelah hampir pasti aku akan jatuh sakit. Hal
itu dapat dilihat dari cukup seringnya aku mendapat perawatan di
poliklinik seminari. Akan tetapi, selama hidup di Tahun Rohani ini
aku tidak pernah sakit. Entah mengapa aku sendiri juga tidak tahu.
Padahal gaya hidupku juga tidak jauh berbeda dengan sebelumnya. Apa
pun sebabnya yang pasti aku bersyukur akan semua ini. Dengan
kesehatan yang aku terima ini aku dapat menjalani hidupku dengan
baik. Kesehatan bagiku sungguh penting karena hal itu menunjang
pelayanan. Oleh sebab itu, aku sungguh berusaha menjaga kesehatanku
sehingga dapat terus melayani karena jika jatuh sakit aku justru akan
lebih banyak dilayani.


Dalam mendaki gunung tak jarang aku mengalami rasa sakit. Entah itu karena
kram atau luka-luka akibat tergores duri atau bebatuan yang tajam.
Sudah barang tentu itu adalah sesuatu yang tidak menyenangkan.
Perasaan semacam itu juga kurasakan dalam pendakian di Tahun Rohani
ini. Rasa sakit itu bisa terjadi oleh banyak hal. Misalnya konflik
dengan teman seangkatan atau mungkin adanya perasaan bahwa apa yang
kuharapkan atau kurasakan tidak dipahami atau tidak dimengerti oleh
orang lain.


Aku mengalami bahwa pendakian akan terasa lebih ringan dan menyenangkan
bila dilakukan oleh banyak orang. Selain itu, jumlah orang yang cukup
banyak tentu akan mempermudah dalam pembagian tugas, misalnya untuk
mengangkat aneka perlengkapan. Berkurangnya anggota tentu saja
berpengaruh dalam perjalanan pendakian. Hal yang sama kualami juga
dalam pendakian di Tahun Rohani ini. Baru sekitar satu bulan berjalan
sudah ada satu teman yang mengundurkan diri. Apalagi dia adalah salah
satu teman dekatku. Bulan depannya lagi ternyata ada yang
mengundurkan diri lagi. Namun, itu belum cukup. Bulan ketiga ternyata
ada orang ketiga yang juga mengundurkan diri. Aku khawatir,
jangan-jangan setiap bulan teman-temanku akan mengundurkan diri satu
per satu. Untunglah kekhawatiranku itu tidak terjadi. Perlahan aku
mulai menyesuaikan diri kembali untuk melanjutkan pendakian bersama
dengan teman-teman yang tersisa.


Tentu saja dalam pendakian aku tidak hanya menjumpai hal-hal yang
berat atau sulit saja. Aku juga menjumpai hal-hal yang menyukakan
hati. Kebersamaan dalam bentuk pemberian bantuan ketika ada yang
terpeleset dan jatuh serta tertawa bersama ketika menemukan suka cita
dan kegembiraan adalah hal-hal yang menyenangkan ketika menjalani
pendakian. Di Tahun Rohani hal itu kualami melalui kegiatan-kegiatan
bersama dengan teman-teman. Berkumpul dalam komunitas keuskupan,
unit, atau komunitas besar biasanya akan memunculkan kegembiraan.
Aneka komentar dan celoteh lucu dari teman-teman mampu meringankan
kepenatanku selama menjalani pendakian ini. Selain itu, kegembiraan
ini juga kudapatkan melalui kegiatan rekreasi bersama atau pentas
seni. Melalui itu semua aku dapat merasakan bahwa dengan kegembiraan
maka perjalanan akan terasa cepat dan ringan.


Dalam pendakian aku juga berjumpa dengan hal-hal baru. Banyak tumbuhan atau
mungkin juga aneka fauna yang belum pernah kukenal sebelumnya. Hal
yang semacam itu juga kualami di Tahun Rohani ini. Aku bertemu dengan
banyak hal yang baru. Aku bertemu dengan teman-teman yang berasal
dari berbagai macam latar belakang suku dan kebudayaan. Aku berjumpa
dengan banyak orang baru di lingkungan dan di paroki. Mungkin tidak
semuanya memberi kesan baik untukku, tetapi aku yakin bahwa dengan
hidup bersama mereka aku banyak belajar dan mereka juga memperkaya
diriku.


Pendakian memang melelahkan apalagi jika jalan terus menanjak dan terjal. Sudah
barang tentu tenaga banyak yang terkuras. Agar dapat melanjutkan
perjalanan maka diperlukan istirahat untuk sejenak menarik nafas.
Demikian halnya dengan perjalanan di Tahun Rohani. Aku juga kerap
merasa lelah akan aneka pekerjaaan dan pelayanan. Aku perlu
beristirahat dan istirahat itu kuterima dalam rupa penyegaran rohani.
Salah satu bentuk penyegaran itu adalah retret. Retret selama
menjalani Tahun Rohani kualami sebanyak dua kali. Retret pertama
kujalani di Ngadireso bersama para suster Putri karmel, dan yang
kedua di Karang Widoro bersama Romo B. Hudiono, Pr. Dalam retret aku
menerima hal-hal baru dalam hidupku. Relasi dengan Tuhan juga semakin
kurasakan. Semangat dalam hidup rohani yang mulai menurun
dibangkitkan kembali. Intinya retret memberi kesempatan bagiku untuk
mengisi tenaga sehingga memiliki cukup kekuatan untuk melanjutkan
pendakian.


Kini puncak “Gunung Tahun Rohani” sudah di depan mata. Akan tetapi,
aku sadar bahwa perjalanan panggilanku ini bukan hanya pendakian
sebuah gunung melainkan perjalanan melintasi suatu pegunungan. Banyak
gunung yang harus kudaki. Setelah mendaki “Gunung Seminari
Menengah”, kini aku sudah tiba di ambang puncak “Gunung Tahun
Rohani”. Akan tetapi, masih ada gunung-gunung lain yang lebih
tinggi berada di hadapanku. Gunung-gunung itu tidak untuk
ditaklukkan, tetapi perjalanan melintasi “Pegunungan Panggilan”
merupakan suatu kehidupan. Aku tidak mau menaklukkan kehidupanku,
tetapi aku mau menghidupi kehidupanku. Semoga Ia yang menyerahkan
hidup-Nya bagiku dan memanggil aku senantiasa menyertai perjalanan
hidupku.