Rabu, 10 Maret 2010

BERPIHAK KEPADA KAUM MISKIN (Belajar dari Dokumen Ajaran Sosial Gereja: Ensiklik Solicitudo Rei Socialis artikel 42)


Setiap manusia di dunia ini memiliki hak untuk hidup secara layak. Di samping itu, setiap manusia juga berhak untuk mengusahakan hidupnya sedemikian rupa sehingga kebutuhan hidupnya terpenuhi. Akan tetapi, pada kenyataannya masih banyak sekali orang-orang yang hidup menderita. Manusia-manusia yang lemah dan tak berdaya, terutama dalam bidang ekonomi.
Realitas semacam itu juga kita jumpai di negeri ini. Persoalan mengenai kemiskinan seolah tak pernah berhenti dibicarakan. Jika kita menyusuri jalan di kota-kota besar, kita memang akan menjumpai bangunan-bangunan megah, mobil-mobil mewah dan pusat-pusat perbelanjaan yang menawarkan hal-hal yang indah. Akan tetapi, dibalik segala kemegahan, kemewahan dan keindahan itu, kita juga akan menjumpai orang-orang yang terpinggirkan. Mereka adalah orang-orang miskin yang tinggal dalam gubug sederhana, di pinggir rel kereta api dan semacamnya. Tak hanya itu, sangat mudah sekali menemukan anak-anak muda usia sekolah, bahkan anak kecil, berpanas-panas di pinggir jalan menanti belas kasihan orang-orang berpunya. Mereka bekerja keras sementara teman-teman seusia mereka yang adalah anak orang yang lebih beruntung sedang menikmati pendidikan di sekolah-sekolah mahal.
Fenomena kemiskinan tak hanya dijumpai di kota-kota besar. Di pedesaan yang kerap digambarkan dengan kesuburan, ketentraman, dan kekayaan alam rupanya tak luput dari yang namanya kemiskinan. Sudah sering kali telinga kita mendengar berita kelaparan dan gizi buruk yang terjadi di Yahukimo. Juga kekeringan yang melanda masyarakat Gunung Kidul yang membuat mereka kesulitan pangan. Mungkin masih ada di antara kita yang menganut paham: makan tidak makan asal kumpul. Namun, bukankah tidak makan itu juga merupakan salah satu indikasi kemiskinan?
Semua realitas itu terjadi di Indonesia. Negeri yang sering digambarkan sebagai tanah yang subur dan memiliki kekayaan alam luar biasa. Sungguh ironis melihat semboyan gemah ripah loh jinawi, tata tentrem karta raharja terwujud dalam negeri yang perekonomiannya porak poranda dan selalu berkutat dengan pesoalan kemiskinan.
Persoalan kemiskinan tentu saja tidak hanya terjadi di Indonesia dan pada saat ini saja. Sudah barang tentu persoalan ini juga dialami di negara-negara lain sejak masa lampau. Keprihatinan akan persoalan kemiskinan ini rupanya juga menjadi keprihatinan Gereja. Gereja secara jelas menyatakan keberpihakannya kepada kaum miskin (option for the poor/optio praeferentialis pro pauperibus).
Salah satu bentuk keberpihakan Gereja kepada kaum miskin ini ditunjukkan dalam salah satu ensiklik Paus Yohanes Paulus II yang terbit tahun 1987, yaitu Solicitudo Rei Socialis. Secara khusus, persoalan mengenai keberpihakan Gereja terhadap kaum miskin ini tercantum salah satunya dalam Solicitudo Rei Socialis artikel 42.

Solicitudo Rei Socialis
Pada tanggal 30 Desember 1987, Paus Yohanes Paulus II mengeluarkan ensiklik Solicitudo Rei Socialis. Ensiklik ini merupakan ensiklik kedua yang ditulisnya berkaitan dengan Ajaran Sosial Gereja. Yang menjadi tema umum dari ensiklik ini adalah soal keprihatinan sosial Gereja. Dikatakan bahwa ensiklik ini ditujukan kepada para uskup, imam, tarekat-tarekat hidup bakti, para putera-puteri Gereja, dan yang beritikad baik, pada ulang tahun kedua puluh ensiklik Populorum Progressio.
Sebagai suatu peringatan dua puluh tahun diterbitkannya ensiklik Populorum Progressio oleh Paus Paulus VI, maka apa yang tercantum dalam ensiklik Solicitudo Rei Socialis ini tentu saja memiliki kaitan dengan ensiklik Populorum Progressio. Dalam ensiklik Solicitudo Rei Socialis, Paus Yohanes Paulus II memperluas paham tentang perkembangan yang benar yang telah dimulai oleh Paus Paulus VI dalam Populorum Progressio. Menurut Paus Paulus VI, perkembangan itu mencakup hak-hak asasi manusia, nilai-nilai spiritual, dan oportunitas untuk bertumbuh tanpa disubordinasikan pada indikator-indikator ekonomi. Oleh Paus Yohanes Paulus II, refleksi Paus Paulus VI tersebut diperluas dengan menambahkan sikap respek pada alam kodrati dan daya tahan lingkungan (Kristiyanto, 2003:181).
Melalui ensiklik Solicitudo Rei Socialis ini Paus Yohanes Paulus II memiliki dua tujuan atau sasaran utama. Pertama, ensiklik ini merupakan suatu kenangan atas dokumen dan ajaran Paus Paulus VI dalam Populorum Progressio. Sedangkan tujuan atau sasaran yang kedua adalah mengafirmasikan kelanjutan Ajaran Sosial Gereja sekaligus menjamin kebaruannya, mengingat bahwa doktrin dan ajaran itu perlu untuk senantiasa disesuaikan dengan kondisi zaman dan peristiwa-peristiwa yang terus menerus berubah.
Secara umum dapat dikatakan bahwa beberapa tema utama yang diangkat oleh ensiklik Solicitudo Rei Socialis ini antara lain mengenai interdependensi dan dimensi mondial masalah sosial dewasa ini; kompleksitas konsep perkembangan, yang di dalamnya diintroduksi sebagai kategori etis yang sangat hakiki dari solidaritas; serta alasan-alasan etis-religius mengapa Gereja berurusan dengan masalah-masalah sosial (bdk. Kristiyanto, 2003:182-183).
Dengan kata lain, melalui ensiklik Solicitudo Rei Socialis ini, Paus Yohanes Paulus II merefleksikan keadaan buruk ekonomi global di tahun 1980-an dan dampaknya yang merugikan jutaan orang, baik di negara yang sedang berkembang maupun di negara maju. Paus merujuk pada dimensi moral perkembangan, sambil menyebut kendala perkembangan sebagai “struktur-struktur dosa” dari mana semua orang dipanggil kepada pertobatan dan kesetiakawanan demi menjadikan kehidupan bangsa-bangsa lebih manusiawi (Sekretariat Justice and Peace dan Komisi PSE KWI).

Pemahaman tentang Solicitudo Rei Socialis Artikel 42
Secara khusus, tulisan ini memang hendak melihat keberpihakan Gereja terhadap kaum miskin dalam ensiklik Solicitudo Rei Socialis artikel 42. Oleh karena itu, pada bagian ini akan ditunjukkan isi teks ensiklik Solicitudo Rei Socialis artikel 42 itu secara apa adanya dalam tiap paragraf beserta dengan pemahaman atas isi teks yang bersangkutan. Pemahaman dilakukan dalam tiap paragraf mengingat teks dokumen ini terdiri atas lima paragraf yang tentu saja masing-masing memiliki penekanannya sendiri.

a. Paragraf Pertama
Sekarang ini lebih dari pada di masa lampau ajaran sosial Gereja harus terbuka bagi perspektif internasional seturut haluan Konsili Vatikan Kedua, ensiklik-ensiklik terakhir, dan khususnya selaras dengan ensiklik yang sedang kita kenangkan. Oleh karena itu, bukannya berlebihan mengkaji ulang dan makin menjelaskan dalam terang itu tema-tema dan pedoman-pedoman khas yang diuraikan oleh Kewenangan Mengajar Gereja beberapa tahun terakhir ini.

Ajaran Sosial Gereja semakin hari semakin dituntut untuk terbuka dalam menghadapi persoalan internasional. Hal itu pulalah yang diserukan oleh Konsili Vatikan II, bahwa Gereja harus senantiasa terbuka pada aneka persoalan dunia masa kini. Selain itu, di sini juga ditegaskan kembali salah satu tujuan penulisan ensiklik Solicitudo Rei Socialis ini, yakni untuk mengenangkan ensiklik terdahulu, yaitu Populorum Progressio. Oleh karena itu, tak heran bahwa ensiklik Solicitudo Rei Socialis ini mempelajari kembali dokumen terdahulu tersebut dan kemudian memperdalam kembali ajaran yang telah ada untuk digunakan sebagai jawaban atas persoalan-persoalan yang dihadapi oleh dunia dewasa ini.

b. Paragraf Kedua
Di sini kami ingin mengangkat salah satu tema, yakni: pilihan atau sikap mengutamakan kaum miskin. Yang dimaksudkan: pilihan atau bentuk khusus prioritas dalam mengamalkan cinta kasih Kristiani. Seluruh Tradisi Gereja memberi kesaksian tentang itu. Pilihan atau sikap itu mewarnai kehidupan setiap orang Kristen, sejauh ia berusaha meneladan kehidupan Kristus, tetapi diterapkan juga pada pokok-pokok tanggung jawab sosial kita, dan karena itu pada cara hidup kita, serta pada keputusan-keputusan sewajarnya yang perlu diambil mengenai hak pemilikan dan penggunaan harta benda.

Salah satu tema yang diangkat di sini adalah keberpihakan Gereja terhadap kaum miskin (option for the poor/optio praeferentialis pro pauperibus). Keberpihakan di sini berarti suatu prioritas dalam mengamalkan cinta kasih Kristiani. Dengan demikian, yang menjadi prioritas bagi Gereja dalam mengamalkan cinta kasih Kristiani adalah kaum miskin itu sendiri.
Rupanya pilihan untuk berpihak kepada kaum miskin ini telah terjadi sejak lama. Artinya, bahwa Tradisi Gereja juga mengungkapkan hal itu. Bahwa Gereja berpihak kepada kaum miskin itu hendaknya juga terwujud dalam diri para pengikut Kristus. Kristus juga berpihak kepada kaum miskin, maka sebagai pengikutnya, sudah selayaknya jika orang Kristen berusaha meneladan hidup Kristus. Hal itu tentu saja perlu ditampakkan dalam kehidupan sehari-hari, misalnya pada cara hidup dan pengelolaan kekayaan.

c. Paragraf Ketiga
Lagi pula mengingat, bahwa dewasa ini masalah sosial meluas meliputi seluruh dunia, cinta kasih yang mengutamakan kaum miskin itu, begitu pula keputusan-keputusan yang diilhamkannya kepada kita, mau tak mau harus merangkul massa tak terbilang mereka yang lapar, serba kekurangan, tuna wisma, tuna pelayanan kesehatan, dan terutama tanpa harapan akan masa depan yang lebih cerah. Mustahil orang tidak memperhitungkan kenyataan-kenyataan itu. Mengabaikannya berarti menjadi seperti “si kaya” yang pura-pura tidak tahu menahu tentang pengemis Lasarus yang terkapar di dekat pintu (bdk. Luk. 16:19-31).

Seiring berkembangnya peradaban manusia, rupanya semakin berkembang pula persoalan-persoalan hidup yang dialami oleh manusia itu sendiri. Persoalan-persoalan itu terutama adalah persoalan sosial yang universal. Saat ini semakin banyak saja jenis-jenis persoalan sosial manusia itu. Beberapa persoalan sosial itu misalnya kelaparan dan kemiskinan. Selain itu, semakin banyak pula orang yang tidak memiliki tempat tinggal, tidak dapat memperoleh pelayanan kesehatan karena memang tidak memiliki daya untuk itu, terlebih lagi (terutama bagi generasi muda) tiadanya masa depan yang jelas dan cerah dalam hidupnya.
Terhadap kenyataan itu, Gereja tidak boleh dan tidak dapat tinggal diam. Gereja terpanggil untuk merangkul kaum miskin itu dengan penuh cinta. Realitas kemiskinan itu ada di depan mata. Oleh karena itu, suatu sikap dan tindakan yang mendiamkan, bahkan mengabaikan kenyataan tersebut jelas merupakan suatu sikap dan tindakan yang tidak dapat dimengerti. Sikap semacam itu jelas akan membawa siapa saja yang melihat dan melihat kenyataan itu ke dalam “penderitaan” seperti yang dialami oleh “si kaya” yang mendiamkan Lasarus dalam Luk 16:19-31.


d. Paragraf Keempat
Hidup kita sehari-hari, begitu pula keputusan-keputusan kita di bidang politik dan ekonomi, harus diwarnai oleh kenyataan-kenyataan itu. Begitu pula para pemimpin bangsa-bangsa dan para ketua lembaga-lembaga internasional, sementara selalu wajib mengindahkan dimensi manusiawi sejati sebagai prioritas dalam rencana-rencana pengembangan mereka, jangan lupa memberi perhatian utama kepada gejala kemiskinan yang makin menjadi-jadi. Sungguh menyedihkan, bahwa kaum miskin tidak berkurang jumlahnya, justru makin banyak, bukan saja di negeri-negeri yang belum begitu maju, melainkan juga -dan batu sandungan ini agaknya tak kurang beratnya- di negeri-negeri yang sudah lebih maju.

Kaum miskin tidak berkurang jumlahnya, justru semakin hari semakin bertambah banyak saja. Fenomena ini tidak hanya terjadi di negara-negara yang sedang berkembang, tetapi rupanya juga terjadi di negara-negara yang sudah maju dan dikatakan mapan perekonomiannya. Tentu saja kenyataan ini perlu mendapatkan perhatian.
Diserukan kepada para pemimpin bangsa dan para pimpinan lembaga internasional untuk juga memerhatikan persoalan kemiskinan yang semakin runyam dari waktu ke waktu. Para pemimpin dunia tidak cukup hanya memikirkan perkembangan dan kemajuan peradaban manusia saja. Mereka juga harus memikirkan orang-orang miskin yang tergilas oleh kemajuan peradaban itu sendiri. Oleh karena itu, hendaknya dalam hidup sehari-hari setiap manusia juga senantiasa ingat kepada penderitaan saudaranya yang miskin. Dengan demikian, setiap kebijakan politik maupun ekonomi juga berpihak kepada mereka yang miskin itu.

e. Paragraf Kelima
Perlulah ditegaskan sekali lagi asas karakteristik ajaran sosial Kristiani: Harta benda dunia ini pada mulanya dimaksudkan bagi semua orang. Hak atas milik perorangan memang berlaku dan perlu juga, tetapi tidak menghapus prinsip itu. Kenyataannya milik perorangan itu terikat pada “kewajiban sosial”; artinya: pada hakikatnya mempunyai fungsi sosial justru berdasarkan prinsip bahwa harta benda diperuntukkan bagi semua orang. Begitu pula dalam keprihatinan terhadap kaum miskin itu jangan dilupakan bentuk khas kemiskinan, yakni: bila orang dirampas hak-hak asasi manusiawinya, khususnya hak atas kebebasan beragama dan hak atas kebebasan berprakarsa di bidang ekonomi.

Pada dasarnya ajaran sosial Kristiani mengakui hak milik perorangan. Akan tetapi, yang perlu mendapat tekanan di sini adalah karakteristik ajaran sosial Kristiani yang mengatakan bahwa harta benda dunia ini pada mulanya dimaksudkan bagi semua orang. Dengan kata lain, apa yang menjadi milik pribadi itu sebenarnya juga terikat dengan kewajiban sosial. Setiap orang memiliki hak untuk memiliki harta benda.
Salah satu bentuk kemiskinan di sini adalah hilangnya hak. Hal ini perlu mendapat perhatian mana kala ada orang yang dirampas hak asasinya, terutama hak untuk bebas beragama dan mengusahakan kehidupan yang layak. Oleh karena itu, mereka yang dilanggar haknya termasuk golongan kaum miskin. Kepada mereka inilah Gereja juga menaruh perhatian.

Analisis Terhadap Solicitudo Rei Socialis Artikel 42
Pertama-tama haruslah dipahami bahwa Gereja hendak berkecimpung dalam persoalan universal manusia. Oleh karena itu, keprihatinan-keprihatinan Gereja yang disampaikan dalam Solicitudo Rei Socialis, terutama pada artikel 42 ini merupakan persoalan-persoalan yang bersifat mondial. Sebagai suatu kenangan terhadap dokumen sebelumnya, yaitu Populorum Progressio, tentu saja yang menjadi keprihatinan sosial adalah persoalan dengan titik tolak yang sama. Akan tetapi, tentunya persoalan itu juga berkembang seturut keadaan zaman. Oleh karena itu, apa yang disampaikan terlebih dahulu dalam Populorum Progressio mendapat terang baru dalam ensiklik ini untuk menjawab persoalan-persoalan yang muncul dalam realitas yang baru pula. Dengan kata lain, ensiklik Solicitudo Rei Socialis ini memang bukan merupakan suatu dokumen yang sungguh secara radikal revolusioner bagi ajaran sosial Gereja.
Dalam ensiklik Solicitudo Rei Socialis artikel 42 ini secara gamblang Gereja menyatakan keberpihakannya kepada kaum miskin. Gereja mengambil pilihan atau sikap mengutamakan kaum miskin. Pilihan di sini berarti suatu prioritas. Gereja mau memprioritaskan kaum miskin sebagai wujud pengamalan cinta kasih Kristianinya. Dikatakan bahwa seluruh Tradisi Gereja memberi kesaksian tentang itu.
Sebelum melihat bahwa Gereja memang berpihak kepada kaum miskin, tentu saja perlu untuk melihat inspirator Gereja dalam kehidupan sosial, yaitu Yesus Kristus sendiri. Pada zaman Yesus tentu juga sudah ada orang miskin. Yesus sendiri juga hidup dalam suatu sistem pemerintahan yang memiskinkan. Penduduk desa (orang Yahudi) biasanya mengandalkan pekerjaan menggarap tanah. Pada mulanya mereka mungkin adalah pemilik tanah, tetapi politik yang dianut oleh pemerintah penjajah adalah bahwa tanah yang direbut dengan pedang menjadi milik pemenang. Akibatnya banyak orang yang kehilangan tanah. Belum lagi, mereka ini masih dibebani pajak (Suharyo, 1998:43). Ada dua macam pajak yang harus dibayar oleh orang Yahudi. Pertama, pajak yang diwajibkan kepada mereka sebagai orang Yahudi, yaitu pajak untuk Bait Allah dan para imam. Kedua, mereka harus juga membayar pajak kepada pemerintah penjajah. Belum lagi jika ada pungutan-pungutan liar lainnya (Bdk. Suharyo, 1998:46).
Singkatnya, tata sosial dan ekonomi yang terbangun atas dasar sistem politik ini membuat banyak orang menjadi miskin. Orang miskin itu antara lain para pengemis yang tak dapat bekerja karena cacat, yatim piatu dan janda, dan sebagainya. Penderitaan mereka ini diperparah oleh adanya suatu pandangan bahwa apa yang terjadi dalam diri mereka ini merupakan suatu hukuman dari Allah. Dalam hal ini, Yesus tidak ikut-ikutan menuding orang-orang malang itu sebagai orang yang dihukum oleh Allah. Sebaliknya, Ia justru mewartakan kerahiman Allah. Allah yang berkuasa, yang turun tangan, akan menyatakan diri kepada orang-orang yang malang, yang miskin, lapar, dan menangis. Apa yang dilakukan oleh Yesus ini berarti pembebasan menyeluruh dari penindasan kuasa kejahatan (Bdk. Suharyo, 1998:49).
Ensiklik Solicitudo Rei Socialis artikel 42 menyerukan kepada orang Kristen agar sikap berpihak kepada kaum miskin ini mewarnai kehidupan mereka. Hal ini tentu saja juga mengandung ajakan untuk meneladan apa yang telah diajarkan dan dilakukan oleh Yesus Kristus itu sendiri. Di samping itu, keberpihakan kepada orang Kristen itu perlu pula diwujudkan dalam kehidupan sosial sehari-hari. Manusia hidup berdampingan dengan orang lain, karenanya perlu sikap toleran dalam gaya dan cara hidup, terutama dalam mengelola kekayaan.
Persoalan sosial semakin hari semakin bertambah banyak dan meluas di seluruh dunia. Kenyataan ini haruslah diimbangi dengan meluasnya cinta kasih yang mengutamakan kaum miskin itu sendiri. Keadaan masyarakat miskin pada zaman Yesus juga masih terasa hingga saat ini, bahkan mungkin bertambah kompleks jenisnya. Banyak orang yang lapar, tak punya rumah, tak mampu membiayai keperluan kesehatan dan pendidikan, dan sebagainya. Persoalan ini semakin serius mana kala yang mengalami itu semua adalah generasi muda. Mereka yang seharusnya mewarisi dunia ini harus hidup dalam kenyataan bahwa mereka tak punya masa depan. Melihat kenyataan seperti ini, tentu saja Gereja tidak dapat berpura-pura tidak tahu dan mendiamkan semuanya ini terus terjadi.
Solicitudo Rei Socialis artikel 42 mengingatkan bahwa tak jarang kemiskinan itu bersumber dari kebijakan-kebijakan yang tidak memihak rakyat, terutama mereka yang lemah. Oleh karena itu, perlulah bagi para pemimpin dunia untuk memerhatikan hal ini. Dalam mengupayakan kebaikan manusia, kiranya perlu untuk senantiasa mengikutsertakan perjuangan atas kemiskinan yang semakin parah di berbagai belahan dunia. Sungguh ironis bahwa di tengah perkembangan ilmu pengetahuan, teknologi, dan peradaban manusia, angka kemiskinan juga ikut bertambah.
Rupanya Solicitudo Rei Socialis artikel 42 perlu pula menegaskan sekali lagi asas karakteristik ajaran sosial Kristiani, yaitu bahwa sejak semula harta benda itu dimaksudkan untuk semua orang. Ini bukan berarti menyangkal kepemilikan pribadi. Akan tetapi, perlulah diingat bahwa apa yang menjadi milik pribadi perlu pula digunakan untuk mewujudkan kebaikan bersama.
Berkaitan dengan keprihatinan terhadap kaum miskin, perlu pula diingat bahwa kemiskinan tak hanya berarti mereka yang kekurangan harta benda ekonomis, tetapi juga mereka yang kehilangan haknya. Mereka itu termasuk yang dilanggar haknya untuk bebas beragama dan kebebasan untuk mengusahakan kehidupan yang layak. Orang yang kehilangan hak asasinya berarti orang yang dicuri dan dirongrong martabatnya. Kepada mereka inilah Gereja berpihak.

Aktualitas dan Relevansi Solicitudo Rei Socialis Artikel 42
Seperti telah diungkapkan di bagian awal tulisan ini bahwa ensiklik Solicitudo Rei Socialis terbit pada tahun 1987. Ini berarti bahwa tahun ini ensiklik ini berusia 23 tahun. Pertanyaannya, masih aktualkah ajaran untuk berpihak pada orang miskin ini pada masa kini, terutama di Indonesia? Apa relevansinya?
Untuk menjawab pertanyaan tersebut haruslah kembali kepada kenyataan bahwa Gereja Indonesia sebagai suatu kesatuan dengan Gereja universal hadir secara faktual di negara Indonesia. Oleh karena itu, Gereja Indonesia juga turut merasakan duka, harapan, dan kecemasan bangsa Indonesia. Dengan demikian, ketika Gereja menyerukan keberpihakannya kepada kaum miskin, maka Gereja Indonesia harus pula menanggapinya dalam konteks manusia di sekitarnya.
Indonesia sebagai sebuah negara berkembang tentu saja masih juga berhadapan dengan persoalan kemiskinan. Kesenjangan ekonomi dan kemiskinan masih merupakan problem bangsa Indonesia. Angka pengangguran pada tahun 2009 sekitar 8,1%; sedangkan angka kemiskinan 14,14% atau 32,5 juta dari total penduduk Indonesia (www.bappenas.go.id). Kita tidak tahu apakah data itu memang nyata benar. Bisa jadi angka kemiskinan di bawah itu, tetapi sangat mungkin lebih dari itu.
Data lain mengatakan bahwa pada setiap 100 penduduk Indonesia terdapat 15 orang miskin atau secara total ada 35.000.000 penduduk miskin menurut perhitungan Badan Pusat Statistik tahun 2008. Namun, sejumlah politisi, lembaga swadaya masyarakat dan bahkan peneliti memperkirakan jumlah penduduk miskin di Indonesia jauh lebih besar dibandingkan angka resmi yang dikeluarkan pemerintah. Asumsi mereka adalah data Badan Pusat Statistik itu diambil sebelum subsidi bahan bakar minyak dicabut sehingga dampak kenaikan harga bahan bakar tersebut belum terekam dalam survei BPS (www.bbc.co.uk). Sekali lagi, soal angka di sini tidak menjadi sangat penting, yang penting adalah bahwa kemiskinan itu masih ada di negeri ini.
Fenomena keberadaan kemiskinan di negeri ini seolah memang mau ditunjukkan oleh pemerintah. Hal ini terutama tampak dalam program Bantuan Langsung Tunai. Melalui program itu dapat dilihat betapa kemiskinan menjadi persoalan yang sungguh serius di negeri ini. Betapa mengenaskan melihat kaum miskin berdesak-desakan mengantre jatah uang tunai dari pemerintah. Hal yang tak kalah mengenaskan ketika melihat sekian banyak orang miskin berjejalan dan berebutan menerima lembaran Rp 20.000,- di kala Idul Fitri dan sekerat daging pada Idul Adha. Ironisnya, di bidang kehidupan yang lain, tetapi masih di Indonesia, uang trilyunan rupiah berputar pada orang-orang tertentu saja.
Kenyataan-kenyataan seperti itulah yang terjadi di Indonesia. Akan tetapi, tentu saja tak hanya di Indonesia. Federasi Para Uskup Asia (FABC) dalam sidang paripurna yang pertama di Taipei pada tahun 1974 telah menetapkan perlunya dialog, terutama dengan kaum miskin (Bdk. Soetoprawiro, 2003:132-133). Hal ini menjadi penting mengingat sebagian terbesar rakyat Asia ialah kaum miskin. Kemiskinan itu terutama karena tak adanya kemungkinan mendapat bekal dan sumber material yang mereka butuhkan untuk hidup secara manusiawi.
Dialog dengan kaum miskin itu merupakan suatu dialog kehidupan. Dalam dialog ini terangkum pengalaman dan pengertian yang sesungguhnya akan kemiskinan, pemiskinan, dan penindasan. Dialog ini menuntut agar Gereja bekerja bukan sekadar bagi mereka yang miskin itu (pro pauperibus), melainkan pengalaman bersama mereka (cum pauperibus) dan mewujudkan keadilan sosial.
Gereja sejak awal memang telah menyatakan pilihannya kepada kaum miskin. Ensiklik Solicitudo Rei Socialis artikel 42 juga menyerukannya kembali. Akan tetapi, Ajaran Sosial Gereja bukan hanya untuk diperdengarkan, diajarkan dan dibacakan terus menerus, melainkan perlu ditanggapi. Hal ini tentu juga menjadi konsekuensi bagi Gereja Indonesia. Kenyataan bahwa semakin hari kaum miskin semakin meluas dan bertambah jumlahnya menuntut Gereja untuk juga senantiasa meluaskan cinta kasihnya sehingga dapat merangkul mereka semua.


Oleh: Fr. Antonius Yanuardi HW

Tidak ada komentar:

Posting Komentar